MENUJU INDONESIA BARU YANG BERMARTABAT ; BEBAS KORUPSI DAN NARKOBA STOP KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN DAN ANAK

PPP Bangkit 2A. Abstraksi

Lima belas tahun sudah reformasi dilakukan, namun tak ada satu pun dari anak negeri ini berani menjamin dan berkata bahwa reformasi yang disuarakan dan dipelopori oleh kalangan muda serta mahasiswa pada tahun 1998, sudah berjalan sesuai cita-cita reformasi.

Salah satu cita-cita reformasi adalah pemberantasan KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme). Cita-cita reformasi ini kemudian diimplementasikan oleh MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat) dalam sidang tahunan tahun 1998 dengan mengeluarkan Tap MPR No. XI Tahun 1998 Tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, Nepotisme (KKN). Dari Tap ini lahirlah badan KPKPN (Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara). Namun, keberadaan Badan ini tidak efektif serta pasif, tugasnya hanya melaporkan kekayaan pejabat negara ke penegak hukum, namun tak ada tindakan tegas, khususnya bagi aparat dan atau pejabat negara yang melakukan korupsi.

Masalah pemberantasan korupsi ini pun kemudian dievaluasi. Tap. MPR No. XI Tahun 1998 dirasa tidak cukup untuk melakukan pemberantasan korupsi sehingga pada Tahun 2001 dikeluarkanlah Tap. MPR No. VIII Tahun 2001 Tentang Rekomendasi Arah Kebijakan Pemberantasan dan Pencegahan  Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Keberadaan Tap MPR ini diharapkan dapat merupakan sebuah upaya dan atau jalan keluar untuk mempercepat pemberantasan korupsi, Tap MPR ini secara eksplisit merekomendasikan lahirnya undang-undang dan badan-badan pencegahan korupsi, termasuk  diantaranya adalah KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi).

Dalam perjalanan waktu, diakui bahwa infrastruktur pemberantasan korupsi sebenarnya belum cukup memadai, pemberantasan korupsi masih terkesan jalan di tempat. Ada faktor perundang-undangan dan non perundangan-undangan yang menjadi penghalang sehingga pemberantasan korupsi seperti berjalan tertatih-tatih dan perlu adanya lecutan dari luar, pemberantasan korupsi harus mendapatkan dukungan penuh dari civil society, tidak terkecuali partai politik.

Data yang dirilis KPK menunjukkan bahwa korupsi di Indonesia masih tinggi, masif dan luas. Karenanya, harus ada keterpaduan dalam menangani korupsi yang meliputi pencegahan, pemberantasan, monitoring serta supervisi. Dari penindakan yang dilakukan KPK, sepanjang tahun 2004 hingga 2011, terdapat 332 kasus yang sudah ditangani. Sepanjang 2004 sampai Agustus 2012, KPK juga menerima 55.964 laporan pengaduan dari masyarakat. Sedangkan di bidang pencegahan, KPK telah berhasil menyelamatkan uang negara dari sektor migas sejumlah Rp. 152 triliun lebih, dan dari hak milik negara berjumlah Rp 2 triliun lebih.

Selain itu, data lain yang disampaikan oleh Polri bahwa pada tahun 2005 terdapat 259 kasus korupsi, dengan melibatkan keuangan negara mencapai Rp 21 miliar. Sementara pada tahun 2012 (data hingga November) jumlah perkara korupsi yang ditangani Polri mencapai 494 perkara, dengan jumlah kerugian mencapai Rp 211 miliar. Dalam hal ini, jumlah keuangan negara yang diselamatkan oleh Polri mencapai 1, 1 triliun lebih.

Sementara itu, Kejaksaan RI pada tahun 2004 menangani 523 perkara. Pada November 2012 Kejaksaan telah menangani 1.242 perkara. Dari tahun 2004-2012 Korp Adiyaksa menangani 8.854 perkara, dan lembaga lain yakni Badan Pengawas Keuangan (BPK) telah menyelamatkan uang negara sebesar Rp 7,8 triliun. Selain itu, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) pada tahun 2012 telah menerima 30 permohonan, dimana 10 orang dikabulkan untuk dilindungi LPSK.

Menurut Menkumham Amir Syamsudin, bahwa kepatuhan Laporan Harta Kekayaan Pejabat Negara (LHKPN) pada tahun 2012 telah mencapai 75,52 persen, dan pelaporan gratifikasi pada tahun 2012 berjumlah 1.082 laporan. Namun, upaya pemberantasan korupsi di Indonesia sebagaimana dikemukakan di atas tersebut tidak lantas menurunkan angka korupsi, karena hingga saat ini masih banyak kasus korupsi yang dipublish oleh media.

Menurut saya, ada beberapa hal yang perlu diperbaiki dan dibenahi dalam penanganan dan pemberantasan korupsi, yaitu pertama, memaksimalkan kinerja dan fungsi pengawasan dalam hal pemberantasan korupsi baik di lembaga legislatif, eksekutif maupun yudikatif, kedua, memperbaiki dan menyempurnakan peraturan perundang-undangan mengenai klasifikasi tindak korupsi, ketiga, memperbaiki dan meningkatkan kualitas sumber daya manusia dalam hal pemahaman terhadap tindak pidana korupsi, bahwa korupsi tidak hanya merupakan musuh bangsa, tapi korupsi juga merupakan kejahatan kemanusiaan.

Hal lain yang tidak kalah penting untuk ditangani segera oleh bangsa ini adalah persoalan narkoba dan tindak kekerasan terhadap perempuan dan anak. Data terbaru Badan Narkotika Nasional (BNN) pada Februari 2006 menyebutkan, dalam lima tahun terakhir jumlah kasus tindak pidana narkoba di Indonesia rata-rata naik 51, 3 persen atau bertambah sekitar 3.100 kasus per tahun.

Kenaikan tertinggi terjadi pada 2005 sebanyak 16.252 kasus atau naik 93 persen dari tahun sebelumnya. Di tahun yang sama tercatat 22 ribu orang tersangka kasus tindak pidana narkoba.  Kasus ini naik 101,2 persen dari 2004 sebanyak 11.323 kasus. Berdasarkan laporan BNK kota Bekasi, pada tahun 2010 jumlah pengguna narkoba di kalangan pelajar mencapai 607 kasus. Ironisnya, 95 kasus dilakukan oleh pelajar sekolah dasar (SD), 143 kasus oleh pelajar SMP dan sisanya yakni 369 kasus dialami oleh pelajar SMA/SMK. Sementara, ada 43 kasus lain yang menimpa mahasiswa. Sementara peredaran dan pengguna narkoba di kota Depok pun mengalami peningkatan. Pada tahun 2008, jumlah pengguna narkoba berjumlah 2,8 juta orang.  Kini jumlah pengguna narkoba berjumlah 3,3 juta orang. Bahkan jika kondisi ini dibiarkan, jumlah pengguna narkoba dapat menembus angka 4,58 juta orang pada 2013, tahun ini.

Menurut kriminolog Muhammad Mustofa, sebagaimana dikutip Tempo, menyatakan bahwa jumlah kasus yang tercatat oleh BNN itu bukan angka kasus ril di lapangan, karena masih banyak kasus yang tidak diketahui.

Pencatatan kasus narkoba memang tidak mudah. Bahkan yang tercatat oleh BNN tersebut masih relatif kecil bila dibandingkan dengan kasus yang ada di lapangan. Kasus narkoba yang tidak diketahui itu justru jauh lebih banyak.

Sementara itu, berdasarkan data Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Provinsi DKI Jakarta, pada tahun 2011  kekerasan mencapai 1.381 kasus dan tahun 2012 melonjak menjadi 1.429 kasus. Menurut Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Menteri PP-PA), Linda Amalia Sari Gumelar, sebagaimana dikutip Pos Kota, bahwa lebih dari 70 persen  kasus kekerasan dialami perempuan.

Dari ribuan kasus kekerasan itu, menurut Linda, jumlah tertinggi terjadi di DKI Jakarta. Tahun 2012 terdapat  325 kasus kekerasan terhadap anak. Jumlah ini naik dua kali lipat dibandingkan 2010 yang mencapai 155 kasus. Sebagaimana diketahui, menurut laporan Komisi Perlindungan Anak (KPAI) pada awal tahun 2013,  di beberapa daerah ada peningkatan kasus sampai 30 persen, dan kasus itu adalah kasus kekerasan seksual terhadap anak.

Ini terjadi karena ada faktor permisifitas dan abain dari masyarakat terhadap potensi pelecehan seksual. Menurut Dr. Asrorun Ni’am Soleh, sebagaimana dikutip arrahman.com bahwa selain dua faktor tersebut di atas, faktor lain yang mempengaruhi peningkatan kasus kekerasan seksual terhadap anak adalah faktor kegagapan budaya melalui tayangan dan perkembangan informasi yang terlalu mudah diakses sehingga memungkinkan berbagai tayangan sadisme, kekerasan, pornografi, dan berbagai jenis tayangan dekstruktif lainnya ditonton. Namun, minim proses penyaringan pemahaman.

Karena itu dibutuhkan kerjasama dari semua pihak, pemerintah, masyarakat, media massa dan tidak kalah pentingnya adalah orang tua. Karena sesungguhnya orang tua adalah penanggung jawab utama atas perkembangan dan pertumbuhan anak mereka.

Oleh karena itu, mari bersama-sama dengan kolektifitas dan komitmen yang tinggi memerangi kekerasan terhadap perempuan dan anak. Karenanya, dengan berharap pada pemerintah dan DPR sebagai lembaga negara yang diamanahkan oleh konstitusi sebagai pembuat undang-undang, agar dalam revisi Kitab Hukum Acara Pidana (KUHAP) nanti, dapat mengakomodir masalah kekerasan terhadap perempuan dan anak dalam undang-undang tersebut dengan memberi sanksi lebih berat kepada pelaku.

Selain persoalan korupsi, narkoba serta tindak kekerasan terhadap perempuan dan anak, pornografi serta porno aksi, bangsa ini sedang dihadapkan juga pada masalah-masalah, ekonomi, politik, sosial budaya, hukum dan pertahanan serta keamanan negara (Hankam).

Masalah ekomomi misalnya, menurut Deputi Gubernur Bank Indonesia, Halim Alamsyah sebagaimana dikutip Antara, bahwa fundamental ekonomi Indonesia tidak terlalu buruk, tetapi menunjukan perbaikkan. Ia optimis  bahwa perekomian Indonesia masih kuat secara jangka panjang dan secara fundamental tidak akan banyak berubah karena ada ekspektasi terkait kebijakan-kebijakan baru pemerintah. Namun, di sisi lain ada angka pengangguran di negeri ini yang makin meningkat, tercatat dalam data base Kemenakertrans bahwa kurang lebih dari 6.000 lulusan sarjana masih menganggur. Sementara persoalan politik, sosial budaya dan Hankam kian mengkhawatirkan, karena di tahun ini, tahun 2013, ada 400-an lebih Pemilukada di daerah, dan bisa saja terjadi konplik horizontal antar masyarakat karena gesekan-gesekan politik yang timbul, serta pada tahun 2014 mendatang bangsa ini akan melaksanakan pemilu legislatif dan pemilu presiden. Untuk itu, semoga tidak terjadi sesuatu, yang tidak diinginkan.

B. Visi dan Misi

Berdasarkan pada fakta dan data serta pemikiran yang telah diuraikan tersebut di atas, maka saya sebagai Calon Anggota Legislatif DPR RI periode 2014 – 2019, Dapil Jawa Barat VI (Kota Bekasi – Kota Depok) mencoba, menyikapi masalah tersebut di atas dan merumuskan ke dalam visi dan misi konstruktif tentang apa yang akan diperjuangkan ketika menjadi anggota legislatif nanti, di antaranya adalah:

Visi, mewujudkan Indonesia baru yang bermartabat :

Indonesia baru yang menjunjung tinggi nilai-nilai serta norma hukum dengan seadil-adilnya.

  1. Indonesia baru yang bebas dari korupsi.
  2. Indonesia baru yang bebas dari narkoba.
  3. Indonesia baru yang bebas dari kekerasan terhadap perempuan dan anak.
  4. Indonesia baru yang bebas dari pornograpi dan porno-aksi.
  5. Indonesia baru yang bebas dari diskriminasi dan penindasan.
  6. Indonesia baru yang adil, makmur, aman dan sejahtera.
  7. Indonesia baru yang berdaulat baik secara ekonomi, politik, sosial budaya, hukum dan Hankam tanpa intervensi pihak asing.
  8. Indonesia baru yang diriḍai Allah swt.

Misi, berperan aktif dan memanfa’atkan fungsi legislasi, budgeting dan fungsi pengawasan sebagai anggota legislatif kelak, untuk mewujudkan dan atau merealisasikan visi Indonesia baru tersebut di atas, salah satunya adalah :

  1. Menyampaikan kepada DPR dan pemerintah untuk melakukan revisi terhadap peraturan perundang-undangan, khususnya Undang-undang tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, pencegahan narkoba, pornografi dan porno-aksi serta perlindungan terhadap perempuan dan anak dari tindak kekerasan.
  2. Menyampaikan kepada DPR dan Pemerintah untuk melakukan restorasi nasional untuk menyelesaikan masalah-masalah bangsa terkait dengan masalah pelangaran HAM berat, dan masalah lainnya yang menjadi ganjalan untuk menuju Indonesia baru yang bemartabat.
  3. Bersama-sama nanti, dengan DPR dan Pemerintah merumuskan peraturan perundang-undangan yang berpihak kepada kepentingan masyarakat,  bukan kepada kepentingan segelintir orang/ kelompok dan atau kepada pihak asing.

C.  Penutup

Demikian, visi dan misi ini saya sampaikan, agar diketahui masyarakat. Semoga Allah swt meriḍoi upaya dan perjuangan yang dilakukan dalam memperjuangkan aspirasi dan kepentingan rakyat, bangsa dan negara ini. Wassalamu’alaikum.

Kinkin Mulyati, SH.I CALON ANGGOTA LEGISLATIF DPR – RI PERIODE 2014 -2019, PPP DAERAH PEMILIHAN JAWA BARAT VI (KOTA BEKASI – KOTA DEPOK).

MENANTI PERATURAN KAPOLRI TENTANG POLWAN BERJILBAB

Polwan 1Perjuangan AKBP Tien Abdullah dkk untuk mengenakan jilbab saat menjalankan tugas di lapangan tampaknya masih panjang. Ketika dikonfirmasi kepada salah seorang politisi PPP di Senayan yang juga merupakan anggota komisi III DPR RI, ia mengatakan bahwa saat dengar pendapat dengan Kapolri, Jenderal Polisi Sutarman telah berjanji dalam forum rapat tersebut, untuk secepatnya pada akhir Desember 2013 akan ada peraturan Kapolri (Perkap) yang membolehkan Polwan berjilbab. Namun, janji tersebut belum juga dipenuhi.  Entah kenapa?  Tak ada penjelasan resmi dari Kapolri kenapa janji tersebut belum dapat direalisasikan.
Sebelumnya, Kapolri Jenderal Polisi Sutarman tak mempersoalkan polisi wanita atau Polwan memakai jilbab.  Menurut dia memakai jilbab merupakan hak asasi. “Tidak ada masalah, kan waktu itu saya bilang ini kan hak asasi seseorang,” jelas Sutarman saat bertemu dengan pimpinan media dan PWI di Mabes Polri, Jl Trunojoyo, Jakarta, Selasa (19/11/2013).
 Pernyataan lisan orang nomor satu di institusi kepolisian negara itu, merupakan angin segar perubahan bagi Polwan yang hendak memakai jilbab dan atau yang telah memakai jilbab, mereka dapat bernapas dengan lega, setidaknya Polwan yang mengenakan jilbab tidak perlu khawatir atau ragu-ragu dalam mengekspresikan keyakinan mereka sebagai seorang muslimah – sesuai syari’at Islam dan dilindungi UU – namun bagai fatamorgana, pernyataan Sang Jenderal mantan Kabareskrim Polri tersebut seolah tak berbekas dan tak ada artinya, karena selang beberapa hari kemudian setelah pernyataan itu disampaikan, muncul pernyataan yang bertolak belakang diiringi dengan beredarnya surat/telegram rahasia dari Wakapolri Oegroseno kepada semua  jajaran kepolisian di seluruh Indonesia, dimana isi surat tersebut ‘melarang’ polisi wanita terkecuali di Nanggroe Aceh Darussalam untuk sementara waktu tidak memakai seragam berjilbab terlebih dahulu hingga diterbitkannya peraturan kapolri (Perkap) tentang hal tersebut.  
Yang menarik dan menjadi perhatian, sekaligus pertanyaan dari masyarakat adalah apa sesungguhnya yang sedang terjadi di institusi kepolisian negara ini, ada apa? Ada hal-hal khusus yang sulit dinalar, perjuangan panjang AKBP Tien Abdullah dkk untuk mendapatkan restu dan legalitimasi dari pimpinan tertinggi mereka di institusi Polri belum juga berakhir, mimpi mereka untuk dapat memakai jilbab pada saat bertugas di lapangan – tidak hanya Serse dan Intel —  belum menjadi kenyataan.
Sebagian dari Polwan berjilbab terpaksa harus melepas kembali jilbabnya karena dianggap melanggar aturan, bagi Polwan yang “membangkang” dan tetap mengenakan jilbab dilarang mengikuti kegiatan resmi kepolisian, seperti apel pagi  dan lain sebagainya, bahkan “diancam” akan di BKO – kan dan atau  dinon-job-kan.
Alasan yang dikemukakan pimpinan Polri bahwa, belum ada aturan khusus terkait seragam Polwan berjilbab, dan tidak adanya anggaran, serta sejumlah alasan lainnya dinilai sebagian masyarakat sebagai alasan yang dibuat-buat dan merupakan sebuah upaya untuk mengulur-ulurkan waktu hingga masalah ini dilupakan begitu saja.  Dari sudut pandang lain, pimpinan Polri dinilai telah melanggar HAM karena telah mengekang – Polwan berjilbab – hak atas kebebasan mereka dalam menjalankan syari’at agama (Islam) yang dijamin oleh negara di dalam UUD’45. Lihat UUD’45 hasil amandemen Pasal 28 E Ayat 1 dan 2, jo Pasal 29 Ayat 2.
Polwan mengenakan jilbab sesungguhnya juga tidak bertentangan dengan Tribrata Polri, yaitu (1) Berbakti kepada nusa dan bangsa dengan penuh ketakwaan terhadap Tuhan yang Maha Esa. (2) Menjunjung tinggi kebenaran, keadilan dan kemanusiaan dalam menegakkan hukum negara kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945. (3) Senantiasa melindungi, mengayomi, dan melayani masyarakat dengan keikhlasan untuk mewujudkan keamanan dan ketertiban.  Untuk  itu, tidak ada alasan  bahwa  Polwan berjilbab adalah melanggar aturan.  “Polwan yang berjilbab tetap dapat menjalankan tugasnya tanpa ada yang merasa risih dan terganggu sedikitpun, kami bahkan mendapat dukungan dari masyarakat”. Demikian pengakuan salah seorang Polwan berjilbab kepada penulis.
Sangat ironis, Indonesia negara yang mayoritas penduduk muslim terbesar di dunia saat ini, harus berjuang keras untuk membela hak asasinya, demi menjalankan dan mengekspresikan keyakinannya dengan mengenakan jilbab, bahkan tidak jarang  mendapat tekanan dan perlakukan yang tidak menyenangkan dari mereka yang tidak menghendaki Polwan RI berjilbab.
Bandingkan dengan Canada, polisi perempuan atau Polwan, di Edmonton, Alberta, Canada, kini diizinkan untuk memakai jilbab sebagai bagian dari seragam mereka. Salah satu alasan diijinkannya Polwan berjilbab di sana, karena hal ini merupakan sebuah upaya positif dari lembaga kepolisian negara tersebut untuk lebih mencerminkan “keanekaragaman yang sedang terjadi di masyarakat, dan untuk memfasilitasi pertumbuhan minat karier di kepolisian dari komunitas Muslim Edmonton”. Demikian menurut sebuah siaran pers polisi setempat, sebagaimana dikutip kompas online.
Menarik untuk dicermati, Canada yang penduduk muslimnya minoritas, mengakomodir perempuan muslim untuk ikut serta bela negara di kepolisisan tanpa harus menanggalkan identitas seorang muslimah dengan menggunakan jilbab.  Sementara itu jika kita sedikit berfilosofi, semakin banyak orang yang menta’ati agama dan mempertahankan prinsip syari’at di dalam institusi, tentu akan lebih baik dan tidak akan banyak penyelewengan, suatu institusi akan sangat berkualitas, sebab pemimpin dan yang dipimpinnya adalah orang-orang yang memegang teguh ajaran agama. Jauh dari jiwa yang korup dan semena-mena, mempunyai sifat amanah dan adil, karena itulah prinsip dari syari’at agama.
Untuk itu, tanpa harus berapologi dan berpolemik panjang, sebaiknya Kapolri sesegera mungkin – sebagaimana janji Kapolri pada saat rapat bersama komisi III DPR RI, awal Desember 2013 – mengeluarkan Perkap tentang seragam Polri dengan merevisi segeraKeputusan Kapolri No Pol: Skep/702/IX/2005 tentang sebutan penggunaan pakaian dinas seragam Polri dan PNS polisi.  Dimana Perkap tersebut hanya membolehkan Polwan di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) untuk menggunakan jilbab. Berjilbab bagi Polwan bukanlah merupakan sebuah pelanggaran,  sehingga tidak ada lagi alasan untuk segera diterbitkannya Perkap tentang pakaian dinas seragam Polwan berjilbab.
*) Kinkin Mulyati, SH.I adalah Pengajar dan aktivis dakwah, Direktur LPQ-QH,  Calon Anggota Legislatif DPR RI Partai Persatuan Pembangunan No. Urut 6, Dapil Jabar VI (Kota Bekasi – Kota Depok).

Biografi Kinkin Mulyati

Kinkin Mulyati, SH.I
Pengajar / Aktivis Dakwah

Kinkin Mulyati, lahir di Garut, 05 Desember 1972. Anak ke 6 dari pasangan H. A. Karnaen (Veteran Pejuang ’45) dan Hj. Siti Jaenab (almarhumah) Menamatkan studi pendidikan dasar (SD) hingga sekolah menengah atas (SMA) di Garut, melanjutkan pendidikan Strata 1 di Institut Ilmu al-Qur’an (IIQ) Jakarta dan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Magister Hukum di Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah (UIN) Jakarta, konsentrasi : Hukum dan Hak Asasi Manusia. Kegiatan sehari-hari adalah pengajar dan aktivis dakwah. Sejak mahasiswa aktif di organisasi mahasiswa Islam terbesar di Indonesia; Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), juga aktif di Lembaga Pers Mahasiswa dan beberapa organisasi lainnya, saat ini aktif di Dewan Pimpinan Pusat IPQOH (Ikatan Persaudaraan Qori’ – Qori’ah, Hafidz – Hafidzoh), pimpinan Prof. Dr. KH. Said Agil Husin Al Munawar, MA.

Dakwah dan Politik

Bagi saya, dakwah dan politik merupakan dua kekuatan yang saling menguatkan dalam penegakkan amar ma’ruf nahi mungkar sehingga masyarakat merasakan keamanan, keadilan dan kesejahteraan.

Untuk itu, saya ingin membawa perubahan baru pada cara berdemokrasi di Indonesia, saya tidak akan menggunakan cara-cara licik dalam mencapai tujuan politik, khususnya dalam Pemilu Legislatif di tahun 2014, nanti.

Pendidikan Politik Bagian dari Tanggung Jawab Calon Legislatif (Caleg)

Saya punya harga diri, Anda pun punya harga diri. Saya tidak akan membeli suara rakyat dengan uang atau barang dan sejenisnya . Saya tidak mau hal itu dilakukan, karena itu berarti saya ikut memberikan andil menghancurkan demokrasi di negeri ini…belum menjabat saja sudah tidak jujur apalagi sudah menjabat…? Karena itu, Saya siap menang dan siap kalah. 

Saya ingin mengawali semuanya dengan jujur dan bersih. Bagi saya kursi legislatif sudah waktunya diisi oleh orang-orang muda yang cerdas, jujur dan amanah, yang isi kepalanya tidak tertumpu kepada tumpukan uang, yang berani menyuarakan kebenaran dan keadilan, yang ikhlas membela kepentingan rakyat. Legislatif perlu orang yang tidak mempan “peluru” korupsi walaupun ditembakkan dari segala arah.

Riwayat Hidup

  • Nama                                     : Kinkin Mulyati
  • Tempat/Tgl. Lahir           : Garut, 05 Desember 1972
  • Jenis Kelamin                   : Perempuan
  • Agama                                   : Islam
  • Alamat                                   : Jl. H. Saiman / Raya Ciputat No. 114, Pondok Pinang,                                                                        Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, 12310
  • Status Perkawinan         : Menikah / Kawin
  • Nama suami                       : Ridwan Saleh
  • Nama Anak                         : Hafidz Anwar (14 thn), dan Malika Aulia Fath (10 thn).
  • E-mail                                    : kinkin_mulyati@ymail.com
  • Twitter                                   : @KinkinMulyati
  • Hand phone                       : + 62 21 51177834
  • Warga Negara                    : Indonesia.
Riwayat Pendidikan :

  1. Pascasarjana, S2 UIN (Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta), Kajian  Islam : Hukum dan Hak Asasi Manusia.
  2. Sarjana S1 UIN (Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta),     Fakultas Syari`ah dan Hukum, Jurusan Al-Akhwal Asy-Syakhsyiyah.
  3. Sarjana S1 IIQ (Institut Ilmu al-Qur`an Jakarta), Fakultas Syari`ah, Jurusan Perdata Pidana Islam, Program Tahfidz Penuh.
  4. SMA Negeri 1 Leles Garut, Jawa Barat, Tahun 1990/1991.
  5. SMP Pasundan Leles Garut, Jawa Barat, Tahun 1988/1989.
  6. SD Negeri 3 Kadungora Garut, Jawa Barat, Tahun 1985/1986
Pengalaman Organisasi: 

  1. Pengurus IPQOH (Ikatan Persaudaraan Qori/Qori’ah dan Hafidz/Hafidzah, Tingkat Pusat, Bidang Hubungan Organisasi, 2011-Sekarang.
  2. Pengurus Besar (PB) HMI, Bidang Pengembangan Organisasi, Tahun 1998-1999.
  3. Ketua FORMASI (Forum Mahasiswa Syari`ah se-Indonesia), Wilayah Jakarta, Tahun 1998-1999.
  4. Ketua Umum FOSMAS (Forum Study Mahasiswa Syari`ah-IIQ Jakarta), Tahun 1996-1998.
  5. Pemimpin Umum/ Redaksi Jurnal Hukum “WARDAH” (Warta Dinamika Hukum),  Tahun 1996-1997.
  6. Pemimpin Umum/ Redaksi Majalah “Lembar Kampus” IIQ Jakarta, Tahun 1997.
  7. Dewan Pembina Majalah Kampus “OBSESI” Tahun 1999.
  8. Ketua LPM (Lembaga Pers Mahasiswa) Senat Mahasiswa IIQ Jakarta, Tahun 1996/1997.
  9. Koordinator Bidang Keilmuan KOMPPAQ (Korps Mahasiswa Pengkaji dan Penghapal al-Qur`an) Mahasiswa Jawa Barat di Jakarta, Tahun 1995/1996.
  10. Sekretaris Bidang Kemuslimahan HMI Cabang Jakarta, Tahun 1996/1997
  11. Instruktur dan Pengurus KPC (Korps Pengader Cabang) HMI Cabang Jakarta, Tahun 1996-2000.
Pengabdian & Pengalaman Kerja:
  1. Tenaga Pengajar (Non PNS) di Sekretariat Negara RI, tahun 2010 sampai sekarang.
  2. Tenaga Pengajar (Non PNS) di SMPN 13 Jakarta, 2009-sekarang.
  3. Direktur Eksekutif Lembaga Pembinaan al-Qur`an Qira`atul Hafs (LPQ-QH) –    Lembaga Dakwah Islam – tahun 2005-sekarang.
  4. Juru Dakwah.

Siapa sih yang tidak bersedia dipublikasikan? *)

Oleh : Kinkin Mulyati, SH.I **)

Kinkin ReniMenanggapi opini S.L. Harjanto dalam tulisannya “Mau Wakili, tapi Ogah Dikenali”, dipublish di media online BandungEkspres.com, pada tanggal 29 Juni 2013. Yang menyebut nama saya, Kinkin Mulyati dalam opininya tersebut, maka tulisan ini merupakan hak jawab saya terhadap tulisannya yang dipublish media online tersebut.

Hal pertama yang perlu untuk dikoreksi dari saudara S.L Harjanto pada tulisannya alinea kedua, ia keliru dalam menulis “caleg sementara DPR dari Provinsi Jawa Barat Dapil VI yang berasal dari kota Bekasi”, pada hal tidak semua Caleg di Dapil tersebut berasal dari kota Bekasi, seharusnya ia menulis “caleg sementara DPR RI dari Provinsi Jawa Barat Dapil VI Kota Bekasi – Kota Depok”.

Kedua, S.L. Harjanto terlalu cepat mengambil kesimpulan dan beropini bahwa dari hasil pengecekan yang dilakukan terdahap Profil Calon Sementara DPR RI Pemilu 2014, yang dipublikasikan di Web kpu.go.id serta berdasarkan pada pemberitaan media massa, Jawa Pos, 25 Juni 2013 yang ia kutip, telah memberitakan bahwa “KPU mengakui tidak semua caleg DPR yang masuk DCS berkenan dibeber datanya. Setidaknya terdapat 140 caleg yang menolak data riwayat hidupnya dibuka”. Ia pun menyimpulkan bahwa hal tersebut “merupakan sikap caleg atau parpol yang enggan terbuka”. Sebagai seorang pewarta dan magister administrasi publik (MAP) dari UGM, saudara S.L Harjanto semestinya tidak hanya berpatokan pada data yang masih sangat lemah, dengan pengecekan di Web kpu.go.id sebagaimana ia lakukan dan mengutip pemberitaan media masa, dan pada akhirnya beropini, dan menarik kesimpulan. Ia seharusnya terus menelusuri apakah benar, sebagaimana dugaan awalnya yang sampaikan pada aline ketiga bahwa, “mungkin petugas KPU luput saat meng-input data, sehingga data sebagian caleg tidak bisa diakses”. Ataukah memang ada masalah teknis lain yang melatarbelakangi kenapa muncul kalimat “Tidak bersedia dipublikasikan” pada Web.kpu.go.id saat masyarakat hendak mengakses profil calon sementara anggota DPR RI Pemilu 2014.

Ketiga, penyebutan nama Kinkin Mulyati dan salah seorang rekang Caleh PPP dari Dapil yang sama Bambang Hernawan dalam tulisan S.L. Harjanto tersebut, sangat merugikan saya secara pribadi, sebagai calon anggota legislatif DPR dari Jawa Barat Dapil VI Kota Bekasi – Kota Depok. Karena opini yang ditulisnya tersebut dapat membuat masyarakat menilai bahwa saya memang benar tidak bersedia mempublikasikan curriculum vitae berupa formulir Model BB 11 dari KPU kepada masyarakat.

Hal ini saya anggap keliru besar, oleh sebab itu perlu ada klarifikasi serta pembuktian lansung akan kebenarannya. Karena, siapa sesungguhnya yang dipercaya dan dapat membuktikan sekaligus menyatakan bahwa munculnya kalimat “Tidak bersedia dipublikasikan” di Web kpu.go.id itu sesungguhnya adalah kehendak saya, bukan kesalahan teknis dan atau lainnya?

Secara pribadi, sejak hari pertama KPU mempubikasikan profil calon sementara anggota DPR Pemilu 2014 di Web kpu.go.id saya telah melakukan beberapa kali pengecekan, apakah benar daftar riwayat hidup saya telah dipublikasikan oleh KPU, ternyata setelah berkali-kali mengecek Web. kpu.go.id, daftar riwayat hidup dalam formulir Model BB 11 tersebut memang tidak dapat diakses dan selalu muncul tulisan “Tidak bersedia untuk dipublikasikan”, padahal jelas-jelas saya telah menandatangani formulir Model BB 11 tersebut dan dibubuhi materai 6000, yang menyatakan bahwa CV saya “bersedia untuk dipublikasikan kepada masyarakat”. Untuk itu, sebagai seorang wartawan media lokal di Bekasi seharusnya S.L Harjanto harus tetap berpegang pada prinsip check and recheck, jangan terburu-buru dan berhati-hati dalam menulis opini yang disajikan kepada masyarakat, hal ini dapat menyesatkan masyarakat. Karena, saudara S.L Harjanto tidak dapat menguji kebenaran fakta dan informasi tersebut, misalnya dengan datang langsung ke DPP PPP Jln. Diponegoro No.60 di Jakarta, dan mengecek apakah benar formulir Model BB 11 yang dibuat dalam rangkap 4 (empat) dan kemudian disampaikan oleh DPP PPP ke KPU itu benar tertulis bahwa ‘saya tidak bersedia mempublikasikan daftar riwayat hidup saya’..?

Sesungguhnya, saya sendiri juga ingin tahu kenapa daftar riwayat hidup saya tidak bisa diakses di Web. kpu.go.id – hingga tulisan ini saya buat di sana masih tertulis “Tidak bersedia dipublikasikan”, padahal Sekretaris Jenderal DPP PPP M. Romahurmuziy mengaku, telah berkirim surat ke KPU, dan meminta agar KPU mengumumkan 156 biodata caleg PPP. Sependapat dengan Romi, sebagaimana dikutip Tribunnews.com saya beranggapan bahwa adalah hak pribadi-pribadi caleg untuk bersedia atau tidak biodatanya diumumkan, namun siapa sih yang secara sengaja tidak berkehendak mempublikasikannya.
Secara logis, tidak ada Caleg yang tidak mau dipublikasikan dan dikenal masyarakat, apalagi jika Caleg tersebut tidak bermasalah, mempunyai track records yang baik. Tidak pernah terlibat korupsi dan narkoba serta kasus kejahatan hukum lainnya. Berasal dari keluarga religius, utuh dan harmonis, insya Allah dengan senang hati profilnya ingin dipublikasikan dan diketahui masyarakat di Dapilnya. Jauh hari sebelum KPU mempublikasikan DCS di Web.kpu.cgo.id – secara pribadi saya telah mempublikasikan profi diri di media oneline Web.Indoleader.com, media sosial seperti facebook, twitter serta beberapa media lainnya.
Hal lain yang terkait dengan pemberitaaan KPU di media massa bahwa 140 Caleg tidak bersedia biodatnya dipublikasikan, sesungguhnya adalah berawal dari KPU sendiri, karena peraturan yang dibuat KPU dan dituangkan dalam formulir Model BB 11 yang ditawarkan KPU kepada Caleg, di sana tertera pilihan “bersedia/tidak bersedia untuk dipublikasikan kepada masyarakat” di akhir kalimat formulir Model BB 11 tersebut. Konsekuensinya, akan ada Caleg yang memilih “bersedia atau tidak bersedia dipublikasikan”. Dan, bagi Caleg yang tidak bersedia, tidak seharusnya KPU “menyudutkan” mereka, dengan merelease bahwa ada 140 Caleg yang tidak bersedia dipublikasikan biodatanya, apa yang sesungguhnya ingin dikesankan oleh KPU kepada masyarakat dengan pemberitaan tersebut?

Munculnya opini dan perdebatan di masyarakat akibat release KPU tentang 140 Caleg yang tidak bersedia dipublikasikan biodatanya sesungguhnya adalah kesalahan KPU sendiri, dan KPU dalam hal ini ikut berkontribusi terhadap ‘citra buruk’ Caleg dengan aturan yang dibuatnya tersebut, kata “bersedia / tidak bersedia” dalam formulir BB 11 yang mengharuskan seorang Caleg memilih dan kemudian ditandatangani oleh Caleg itu sendiri dan juga Pimpinan Partai, dalam hal ini Ketua Umum dan Sekjen untuk Caleg DPR RI, menurut saya sesungguhnya adalah “jebakan”, dan akhirnya mereka sendiri harus menanggung resiko atas pilihannya itu.

Padahal, menurut saya daftar riwayat hidup Caleg yang telah ditandatangani oleh mereka pada formulir BB 11 tersebut, sesungguhnya sudah menjadi hak publik untuk mengetahuinya, meski ada fakta lain yang ditemukan dalam publikasi profil DCS tersebut, diantaranya ada Caleg yang tidak transparan dalam mempulikasikan identitas diri, misalnya tidak mencantumkan nama istri, hanya mencantumkan jumlah anak, tidak mencantumkan riwayat pendidikan, pengalaman organisasi, dan riwayat pekerjaan. Meski demikian KPU tetap mempublikasikan fomulir Model BB 11 dari Caleg tersebut serta tidak mengkategorikannya sebagai Caleg yang enggan dipublikasikan profilnya secara transparan.

Profil calon sementara anggota legislatif DPR RI Pemilu 2014 yang telah dipublikasikan KPU tersebut sesungguhnya tidak merupakan perintah UU, tapi inisiatif KPU. Karena mereka, para Caleg akan menjadi wakil masyarakat dari Dapilnya, dan masyarakat diberikan kesempatan untuk mengoreksi kebenaran data dan informasi yang disajikan dalam formulir Model BB 11 tersebut, jadi tidak perlu ada pilihan “bersedia/tidak bersedia untuk dipublikasikan kepada masyarakat”. Sehingga dengan begitu, DCS yang telah dipublikasikan dapat lolos dari uji publik dan menjadi DCT – tidak memiliki catat adminstratif atau lebih utama tidak memiliki catat moral.

**) Kinkin Mulyati, SH.I, Calon Anggota Legeslatif DPR RI Periode 2014 – 2019, Dapil Jawa Barat VI Kota Bekasi – Kota Depok.

*) Tulisan ini dibuat sebagai tanggapan/hak jawab atas tulisan saudara S.L. Harjanto dengan judul “Mau Wakili, tapi Ogah Dikenali” di Bandung di Ekspres.com dan telah saya tanggapi pada kolom komentar di media online tersebut.

SURROGATE MOTHER (IBU PENGGANTI/SEWA RAHIM) DALAM PERSPEKTIF HUKUM

Umi dan AuliaAbstrak :

Diskursus mengenai surrogate mother (ibu pengganti/sewa rahim) merupakan diskursus yang masih banyak diperbincangan dalam bidang teknologi kedokteran. Salah satu hal yang menarik adalah karena praktek sewa rahim banyak menggugat kemapanan struktur sosial di masyarakat antara lain dengan hadirnya bayi-bayi mungil hasil persenyawaan suami istri yang dititipkan pada seorang perempuan serta tidak terikat hubungan pernikahan dengan suami dari si istri tadi. Praktek sewa rahim ini mempunyai indikasi pelanggaran terhadap hak-hak anak secara berantai, mulai dari hak hidup sampai dengan hak waris dan nasab.

Key words : Surrogate mother, Perundang-undangan, Hukum Perdata, Hak Asasi Anak, Hukum Islam

Perkembangan teknologi di bidang kedokteran, telah menemukan metode baru yaitu inseminasi buatan yang dikenal dengan sebutan in vitro fertilization (program bayi tabung). Teknologi kedokteran ini ditemukan pada tahun 1970-an yang dikembangkan dengan tujuan untuk mengatasi masalah bagi pasangan suami istri yang tidak bisa mendapatkan keturunan (mandul). Sejalan dengan pembuahan in virto fertilization (IVF) yang semakin pesat, muncul ide surrogate mother (ibu pengganti/sewa rahim/gestational agreement) yaitu wanita yang bersedia disewa rahimnya, dengan suatu perjanjian untuk mengandung, melahirkan, dan menyerahkan kembali bayinya dengan imbalan sejumlah materi kepada pasangan suami istri yang tidak bisa mempunyai keturunan karena istri tersebut tidak bisa mengandung.

Ditinjau dari aspek teknologi dan ekonomi proses surrogate mother ini cukup menjanjikan terhadap penanggulangan beberapa kasus infertilitas, tetapi ternyata proses ini terkendala oleh aturan perundang-undangan yang berlaku serta pertimbangan etika, norma-norma yang berlaku di Indonesia. Begitu juga dengan perjanjian yang dibuat, apakah bisa berlaku berdasarkan hukum perikatan nasional, terlebih-lebih objek yang diperjanjikan sangatlah tidak lazim, yaitu rahim, baik sebagai benda maupun difungsikan sebagai jasa.

Praktek surrogate mother atau lazim diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia dengan ibu pengganti/sewa rahim tergolong metode atau upaya kehamilan di luar cara yang alamiah. Dalam hukum Indonesia, praktek ibu pengganti secara implisit tidak diperbolehkan. Dalam pasal 127 UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (UU Kesehatan) diatur bahwa upaya kehamilan di luar cara alamiah hanya dapat dilakukan oleh pasangan suami istri yang sah dengan ketentuan:
a) hasil pembuahan sperma dan ovum dari suami istri yang bersangkutan ditanamkan dalam rahim istri dari mana ovum berasal;
b) dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu;
c) pada fasilitas pelayanan kesehatan tertntu.
Hal ini berarti bahwa metode atau kehamilan di luar cara alamiah selain yang diatur dalam pasal 127 UU Kesehatan, termasuk ibu pengganti (surrogate mother), secara hukum tidak dapat dilakukan di Indonesia. Larangan ini juga termuat dalam pasal 16 UU Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan (lama), yang menegaskan bahwa kehamilan di luar cara alami dapat dilaksanakan sebagai upaya terakhir untuk membantu suami istri mendapat keturunan, dan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor : 73/Menkes/Per/II/1999 tentang Penyelenggaraan Pelayanan Teknologi Reproduksi Buatan : Pasal 4, juga menegaskan bahwa pelayanan teknologi reproduksi buatan hanya dapat diberikan kepada pasangan suami istri yang terikat perkawinan yang sah dan sebagai upaya terakhir untuk memperoleh keturunan serta berdasarkan suatu indikasi medik. Dari kedua peraturan perundang-undangan tersebut, terdapat kesamaan yang menegaskan bahwa bayi tabung yang diperbolehkan hanya kepada pasangan suami isteri yang sah, lalu menggunakan sel sperma dan sel telur dari pasangan tersebut yang kemudian embrionya ditanam dalam rahim isteri bukan wanita lain atau menyewa rahim. Bagi masyarakat yang hendak melakukannya (surrogate mother), diancam sangsi pidana (pasal 82 UU No. 23 Tahun 1992). Hal ini dilakukan untuk menjamin status anak tersebut sebagai anak sah dari pasangan suami isteri tersebut.
Bentuk-bentuk Penyewaan Rahim

1. Benih isteri (ovum) disenyawakan dengan benih suami (sperma), kemudian dimasukkan ke dalam rahim wanita lain. Kaedah ini digunakan dalam keadaan isteri memiliki benih yang baik, tetapi rahimnya dibuang kerana pembedahan, kecacatan yang terus, akibat penyakit yang kronik atau sebab-sebab yang lain.
2. Sama dengan bentuk yang pertama, kecuali benih yang telah disenyawakan dibekukandan dimasukkan ke dalam rahim ibu tumpang selepas kematian pasangan suami isteri itu.
3. Ovum isteri disenyawakan dengan sperma lelaki lain (bukan suaminya) dan dimasukkan ke dalam rahim wanita lain. Keadaan ini apabila suami mandul dan isteri ada halangan atau kecacatan pada rahimnya tetapi benih isteri dalam keadaan baik.
4. Sperma suami disenyawakan dengan ovum wanita lain, kemudian dimasukkan ke dalam rahim wanita lain. Keadaan ini berlaku apabila isteri ditimpa penyakit pada ovari dan rahimnya tidak mampu memikul tugas kehamilan, atau isteri telah mencapai tahap putus haid (menopause).
5. Sperma suami dan ovum isteri disenyawakan, kemudian dimasukkan ke dalam rahim isteri yang lain dari suami yang sama. Dalam keadaan ini isteri yang lain sanggup mengandungkan anak suaminya dari isteri yang tidak boleh hamil.

Sewa Rahim dalam Tinjauan Hukum Perdata

Sewa menyewa rahim pada prakteknya sangat berhubungan dengan hukum perjanjian atau perikatan. Menurut pasal 1313 KUH Perdata, perjanjian didefinisikan sebagai sesuatu perbuatan dimana seseorang atau beberapa orang mengikatkan dirinya kepada seorang atau beberapa orang lain. Dengan kata lain masing-masing orang yang mengadakan perjanjian mempunyai keterikatan, mengikatkan diri pada sebuah perjanjian. Kemudian pada pasal 1233 KUH Perdata, perikatan ditegaskan sebagai sesuatu yang dilahirkan karena perjanjian maupun undang-undang. Karena itu, berdasarkan kedua pasal tersebut semua yang tercantum atau diperjanjikan merupakan undang-undang bagi mereka dan termasuk kepada unsur perjanjian.
Selain itu, untuk mengetahui sahnya suatu perjanjian maka persyaratan dari suatu perjanjian harus dipenuhi oleh para pihak. Dalam pasal 1320 syarat sahnya suatu perjanjian meliputi bebarapa hal antara lain :
1. Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya.
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan.
3. Suatu pokok persoalan tertentu.
4. Suatu sebab yang tidak terlarang.
Menurut Desriza Ratman, perjanjian pada praktik surrogate mother dianggap tidak sah jika tidak memenuhi salah satu persyaratan tersebut, antara lain persyaratan tentang adanya sebab yang halal. Surrogate mother dinyatakan tidak sah dengan alasan tersebut dengan dalil sebagai berikut :
1. Melanggar peraturan perundang-undangan yang ada (hukum positif):
a. UU RI Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan Pasal 127 ayat (1) yang berbunyi: upaya kehamilan di luar cara alamiah hanya dapat dilakukan oleh pasangan suami-istri yang sah dengan ketentuan:
1) Hasil pembuahan sperma dan ovum dari suami istri yang bersangkutan ditanamkan dalam rahim istri dari mana ovum berasal;
2) Dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu;
3) Pada fasilitas pelayanan kesehatan tertentu.
b. Permenkes RI No.73/Menkes/PER/II/1999 tentang Penyelenggaraan Pelayanan Teknologi Reproduksi Buatan.
1) Pasal 4 : Pelayanan teknologi reproduksi buatan hanya dapat diberikan kepada pasangan suami isteri yang terikat perkawinan yang sah dan sebagai upaya akhir untuk memperoleh keturunan serta berdasarkan pada suatu indikasi medik.
2) Pasal 10 :
(1) Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri ini dapat dikenakan tindakan administratif.
(2) Tindakan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa peringatan sampai dengan pencabutan izin penyelenggaraan pelayanan teknologi reproduksi buatan.
c. SK Dirjen Yan Medik Depkes RI tahun 2000 tentang Pedoman Pelayanan Bayi Tabung di RS, terdapat 10 pedoman:
1) Pelayanan teknologi buatan hanya dapat dilakukan dengan sel telur dan sperma suami istri yang bersangkutan; (pedoman no.1)
2) Pelayanan reproduksi buatan merupakan bagian dari pelayanan infertilitas sehingga kerangka pelayanan merupakan bagian dari pengelolaan pelayanan infertilitas secara keseluruhan; (pedoman no.2)
3) Dilarang melakukan surrogacy dalam bentuk apapun; (pedoman no.4)
2. Bertentangan dengan kesusilaan:
a. Tidak sesuai dengan norma moral dan adat istiadat atau kebiasaan umumnya masyarakat Indonesia atau di lingkungannya.
b. Bertentangan dengan kepercayaan yang dianut salah satu agama (Islam) karena terdapat unsur pokok yang mengharamkan praktik surrogate mother, yaitu unsur zina.
3. Bertentangan dengan ketertiban umum:
a. Akan menjadi pergunjingan di dalam masyarakat sehingga wanita surrogate besar kemungkinan akan dikucilkan dari pergaulan.
b. Terlebih lagi bila status dari wanita surrogate mother adalah gadis atau janda.
4. Point 1,2, dan 3 diperkuat dengan pasal 1339 KUH Perdata, yang berbunyi “perjanjian-perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan sengaja tegas dinyatakan di dalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian, diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau undang-undang” sehingga pasal ini menyatakan bahwa dalam menentukan suatu perjanjian, para pihak tidak hanya terikat terhadap apa yang secara tegas disetujui dalam perjanjian tersebut, tetapi juga terikat oleh kepatutan, kebiasaan, dan undang-undang.
5. Bertentangan juga terhadap pokok-pokok perjanjian atau perikatannya itu sendiri, di mana rahim itu bukanlah suatu benda (hukum kebendaan) dan tidak dapat disewakan (hukum sewa-menyewa) yang terdapat pada Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUH Perdata).

Sewa Rahim ditinjau dari Hak Asasi Anak

Anak adalah makhluk Tuhan yang memiliki hak sebagaimana hak yang dimiliki orang dewasa. Hak anak setara dengan hak orang dewasa. Akan tetapi dalam kasus penyewaan rahim anak diperlakukan sebagaimana barang atau benda yang dapat berpindah dari ibu yang satu ke ibu yang lain. Hak anak untuk mendapatkan kasih sayang dari ibu yang melahirkan hilang karena tergerus oleh perjanjian orang dewasa, yang satu bermotif ekonomi dan yang lainya bermaksud memenuhi segala macam keinginannya yang tidak mampu ia dapatkan. Akibat dari tarik menarik dua kehendak ini, anak dijadikan sebagai obyek “perdagangan”.
Praktek sewa rahim atau ibu pengganti tidak disadari sudah menghancurkan masa depan kehidupan manusia. Bagaimana mungkin seorang ibu tega memberikan bayi yang dikandung dan dilahirkannya kepada orang lain, padahal ia sudah mempertaruhkan nyawanya sendiri. Hanya ada satu jawaban jika itu terjadi yaitu motif ekonomi. Latar belakang ekonomilah yang paling kuat melandasi praktek sewa rahim tersebut, sehingga untuk mengadakan perjanjian tidak mempertimbangkan akibat-akibat yang mungkin akan dialaminya kelak, baik bagi dirinya sediri maupun bagi bayi yang akan dilahirkannya kelak.
Dalam kasus sewa rahim terdapat sederet pelanggaran terhadap hak asasi anak. Hak tersebut dapat diklasifikasikan ke dalam beberapa pelanggaran :
1. Penelantaran :
a. Anak kehilangan kasih sayang, anak yang dilahirkan oleh “si ibu sewa” tidak mendapatkan kasih sayang dari ibu kandungnya sendiri.
b. Anak tidak mengetahui orang tuanya, dibesarkan dan diasuh oleh orang tuanya sendiri.
c. Anak disuramkan asal usulnya.
d. Anak dipisahkan dari ibu kandungnya.
2. Perlakuan salah :
a. Anak berhak untuk mendapatkan perlindungan hukum antara lain tidak dilahirkan di luar pernikahan sah, baik menurut agama maupun negara.
b. Anak dieksploitasi secara ekonomi.
c. Anak membawa beban psikologi yang berat.

Dalam prakteknya, sewa rahim atau ibu pengganti membuka peluang lebar adanya anak yang dilahirkan di luar nikah. Seorang gadis atau janda yang bersedia untuk melahirkan tanpa nikah dan hanya disewa rahimnya saja, dapat membawa dampak buruk serta penderitaan terhadap masa depan anak, di antaranya adalah :
1. Anak terlahir dengan status “anak di luar nikah”.
2. Anak kehilangan hak waris orang tua kandungnya.
3. Anak mendapat stigma buruk di masyarakat.
4. Anak tersebut dapat disangkal oleh orang tua kandungnya maupun oleh orang tua titipan.
Mengenai point 4 di atas tadi, Penulis berpendapat bahwa dalam pelaksanaannya anak yang dihasilkan dari proses sewa rahim, sangat memungkinkan adanya penolakan atau sangkalan dari dua pihak sekaligus. Pertama dari orang tua kandung, kedua dari orang tua biologis. Di bawah ini akan Penulis kemukakan beberapa kemungkinan terjadinya penolakan anak :
1. Jika anak terlahir dari ibu kandung (yang disewa rahimnya) dan status ibu tersebut tidak terikat oleh suatu perkawinan yang sah, maka anak yang dilahirkannya itu dapat ditolak oleh ayah biologisnya (penitip sperma), apalagi jika anak tersebut terlahir dalam keadaan cacat, dengan dalil bahwa anak tersebut bukan anaknya karena tidak terlahir dalam ikatan perkawinan yang sah. Pasal 42 UU Perkawinan No. 1 tahun 1974 menyatakan bahwa anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah. Kemudian pasal 250 KUH Perdata menyatakan bahwa anak yang dilahirkan atau dibesarkan selama perkawinan, memperoleh si suami sebagai ayahnya.
2. Jika anak terlahir dari ibu kandung (yang disewa rahimnya) dan status ibu tersebut terikat oleh suatu perkawinan yang sah, maka anak yang dilahirkannya itu dapat ditolak oleh suami dari ibu tersebut. Dengan dalil pasal 44 UU Perkawinan No. 1 tahun 1974 yang berbunyi :
1) Seorang suami dapat menyangkal sahnya anak yang dilahirkan oleh istrinya bila ia dapat membuktikan bahwa istrinya telah berzina dan anak itu akibat daripada perzinaan.
2) Pengadilan memberikan keputusan tentang sah/tidaknya anak atas permintaan pihak yang berkepentingan.
Dari penjelasan tersebut dapat diketahui bahwasanya begitu menderitanya anak yang dilahirkan melalui praktek sewa rahim atau ibu pengganti. Anak dapat kehilangan statusnya sesaat setelah dilahirkan sekaligus kehilangan hak-haknya sebagai manusia.
Perdebatan di seputar sewa menyewa rahim atau ibu pengganti menjadi perdebatan panjang di kalangan masyarakat. Hal ini antara lain disebabkan karena hukum bayi tabung, tidak ada pembahasannya dalam nash maupun kitab-kitab klasik. Ada dua kelompok sehubungan dengan permasalahan ini, yaitu kelompok yang mendukung atau membolehkan dan kelompok yang menolak atau mengharamkan. Di antara pendapat-pendapat tersebut adalah :

a. Pendapat yang menolak atau mengharamkan yaitu :

1. Ibrahim Hosein, mantan Ketua Fatwa MUI mengatakan bahwa inseminasi buatan dan bayi tabung dengan sperma dan sel telur berasal dari pasangan suami istri. Proses kehamilan tidak dalam rahim wanita atau sel telur dari donor, atau benihnya dari pasangan suami isteri, tetapi embrio itu diimplantasikan ke dalam rahim wanita lain, maka pelaksanaan inseminasi buatan dan bayi tabung demikian itu tidak dapat dibenarkan oleh hukum Islam.
2. Asy-Syaikh ‘Ali At-Thantawi menyatakan bahwa bayi tabung yang menggunakan wanita pengganti itu jelas tidak dibenarkan, karena menurut beliau rahim wanita bukanlah panci dapur yang isinya bisa dipindahkan sekehendak hati dari yang satu ke yang lainnya, karena rahim wanita yang mengandung memiliki andil dalam proses pembentukan dan penumbuhan janin yang mengkonsumsi zat makanan dari darah ibunya.

b. Pendapat yang membolehkan penggunaan sewa rahim, yakni:

1. Ali Akbar menyatakan bahwa : menitipkan bayi tabung pada wanita yang bukan ibunya boleh, karena si ibu tidak menghamilkannya, sebab rahimnya mengalami gangguan, sedangkan menyusukan anak wanita lain dibolehkan dalam Islam, malah boleh diupahkan. Maka boleh pulalah memberikan upah kepada wanita yang meminjamkan rahimnya.
2. H. Salim Dimyati berpendapat : bayi tabung yang menggunakan sel telur dan sperma dari suami istri yang sah, lalu embrionya dititipkan kepada ibu yang lain (ibu pengganti), maka apa yang dilahirkannya tidak lebih hanya anak angkat belaka, tidak ada hak mewarisi dan diwarisi, sebab anak angkat bukanlah anak sendiri, tidak boleh disamakan dengan anak kandung. Pendapat di atas menyamakan status anak yang dilahirkan melalui sewa rahim dengan anak angkat, yang tidak mempunyai hak untuk mewarisi dan diwarisi.

Sewa Rahim Menurut Pandangan Hukum Islam

• Diskursus tentang Penentuan Orang yang Paling Berhak Atas Anak.

Selain perdebatan di masyarakat umum, ada pula perdebatan di kalangan ulama yang
yang mempersoalkan siapa sesungguhnya ibu yang paling berhak atas pengakuan terhadap si anak. Mengenai masalah ini, menarik kiranya Penulis tampilkan tulisannya Radin Seri Nabahah bt. Ahmad Zabidi dalam sebuah makalah yang berjudul Penyewaan Rahim Menurut Hukum Islam, mengenai penentuan nasab anak terhadap ibu yang sebenarnya :

Pendapat pertama :
Termasuk golongan ini antaranya, Dr. Muhammad Na’im Yasin, Dr. Abdul Hafiz Hilmi, Dr. Mustafa Al-Zarqa, Dr. Zakaria Al-Bari, Dr. Muhammad As-Surtowi Dekan Fakultas Syariah University Jordan dan lain-lain. Mereka berpendapat bahwa anak dinasabkan kepada si ibu pemilik benih, manakala ibu yang mengandung dan melahirkan itu seumpama ibu susuan yang tidak dinasabkan anak padanya, sekedar dikuatkan atas hukum penyusuan. Pendapat ini dibina di atas asas bahwa perseyawaan benih di antara benih suami istri yang diikat oleh ikatan perkawinan yang sah, maka janin itu dinasabkan kepada mereka. Manakala ibu tumpang tersebut berfungsi sebagai ibu susuan karena ibu susuan memberi minum susunya, lebih-lebih lagi ibu tumpang dimana anak tersebut mendapat makanan dari darahnya sejak awal pembentukan hingga sempurna kejadian sebagai seorang bayi dan lahir. Oleh karena itu, ibu tumpang tersebut dihukumkan sebagai ibu susuan.
Di samping itu, ciri-ciri diri manusia dan sifat yang diwarisinya ditentukan oleh mani dan benih ibu bapaknya, bukan ibu yang mengandung dan melahirkannya, kerena ibu tumpang hanya tempat bergantung dan numpang membesar. Hujah ini juga merupakan hujah kebanyakan doktor.

Pendapat kedua :

Menurut sebahagian besar para ulama’ dan pengkaji di antaranya Sheikh Abdullah bin Zaid Ali Mahmud, Dr. Muhammad Yusuf Al-Muhammadi, Sheikh Muhammad Al-Khudri, Qadi Mahkamah Agung di Riyadh dan lain-lain. Mereka berpendapat bahwa ibu sebenarnya adalah seseorang yang mengandungkan bayi dan melahirkannya, manakala ibu pemilik benih itu seumpama ibu susuan. Mereka berpendapat bahwa anak dinasabkan kepada ibu yang melahirkannya karena nasab anak ditentukan berdasarkan tiga perkara yaitu wanita yang melahirkannya, pengakuan suami, dan saksi. Tiga hal itu, menjadikan seorang ibu yang melahirkan anak tersebut akan dapat mewarisi harta, dan anak itu dinasabkan kepada suaminya, kerana الولد للفراش (anak adalah untuk suami) berdasarkan kaedah syara’ yang diambil dari hadis Rasulullah saw.
• Diskursus Mengenai Nasab dari Jalur Bapak.
Kemudian diskursus yang lainnya mengenai Nasab anak dari jalur Bapak, Bapak yang mana yang berhak dinasabkan oleh anak tersebut. Di bawah ini kembali Penulis tampilkan tulisannya Radin Seri Nabahah bt. Ahmad Zabidi dalam sebuah makalah yang berjudul Penyewaan Rahim Menurut Hukum Islam mengenai masalah tersebut :
Dalam persoalan ini, para ulama terbagi kepada 2 pendapat besar yaitu :

Pendapat pertama :

Golongan ini berpendapat bahwa anak dinasabkan kepada suami ibu tumpang pemilik rahim yang melahirkan anak tersebut, sekalipun beliau tidak memiliki hubungan apa-apa dilihat dari sudut genetik. Mereka berhujah bersandarkan hadis Rasulullah saw :
عن عا ئشة ان النبي صلى الله عليه وسلم قال : الولد للفرا ش وللعاهر الحجر
Artinya : “Anak dinasabkan kepada bapaknya, dan bagi pezina terhalang.”

Hadis ini merupakan dalil nas yang digunakan untuk menentukan hukuman seorang hakim dan merupakan kaedah umum syara’ dalam menetapkan haramnya pernikahan dan cara untuk menentukan nasab bagi seseorang anak. Oleh karena itu, apabila ibu tumpang mempunyai suami kemudian melahirkan anak dari rahimnya, ini berarti anak tersebut dinasabkan kepada suami dari isteri yang melahirkan anak tersebut, sekalipun tidak memiliki hubungan genetik.

Pendapat kedua :

Termasuk dalam golongan ini ialah Al-Mujamma’ Al-Fiqhi Al-Islami yang berpusat di Makkatul Mukarramah, dan lain-lain antaranya Sheikh Mustafa Az-Zarqa, Dr. Muhammad Na’im Yasin, Dr. Muhammad Al-hafiz Hilmi, dan Dr Hashim Jamil. Golongan ini berpendapat bahwa anak yang dilahirkan dinasabkan kepada suami wanita pemilik benih yang disewakan tadi, dan tidak dinasabkan kepada suami pemilik rahim. Ini adalah kerana penyewaan rahim dilakukan di atas dasar persenyawaan benih di antara kedua suami isteri, kemudian benih yang telah disenyawa tadi dimasukkan ke dalam rahim wanita lain. Oleh karena itu, janin tersebut terbina dari benih keduanya yang memiliki ikatan perkawinan yang sah. Justeru, anak itu dinasabkan kepada mereka berdua selagi kedudukan mereka dalam keadaan ini. Walaupun penyewaan rahim ini haram dari segi syara’, tapi tidak menjadi penghalang bagi dinasabkannya anak itu kepada mereka, karena pengharaman ini adalah disebabkan mereka menggunakan rahim wanita lain yang tidak benar secara shar’i. Hal ini dikarenakan dari segi saintifik, janin yang telah disenyawakan tidak terkesan dari rahim selain tumpang dalam memberikan makanan untuk tumbuh menjadi besar, sedangkan sifat-sifat genetik berasal dari pemilik benih asal ovum dan sperma tadi. Hal tersebut diumpamakan seperti kedua ibu bapak yang memberi makanan anaknya dengan makanan yang haram sehingga dewasa, kedua-dua ibu bapaknya berdosa, tetapi hal ini tidak sampai memutuskan hubungan antara mereka.
Pendapat ketiga :

Golongan ini berpendapat bahwa pemilik benih tidak memiliki hak apapun, dan benihnya dianggap sia-sia. Mereka berhujah dengan kisah anak Zam’ah karena Rasulullah saw telah meletakkan bahwa anak itu adalah anak Zam’ah sekalipun jelas bahawa dia bukan anak Zam’ah dari segi zahirnya berdasarkan الولد للفراش . Dalam hal ini, hakikat penentuan hukum berdasarkan kepada zahir karena hakikat sebenarnya hanya Allah–lah yang tahu. Pendapat ini mengatakan bahwa tidak ada nilai bagi pemilik benih ataupun mani dalam beberapa keadaan karena penentuannya mestilah berdasarkan kepada penentuan shar’i yang sah. Hujah ini dijawab bahwa keadaan penyewaan rahim berbeda dengan kisah anak Zam’ah karena dalam kisah anak Zam’ah tersebut, janin itu terhasil daripada percampuran air mani antara dua orang lelaki dan perempuan tanpa ikatan yang sah, oleh sebab itu anak itu tidak dinasabkan kepada lelaki itu (‘Atabah). Sedangkan dalam penyewaan rahim, persenyawaan benih berlaku antara dua orang pasangan suami istri yang diikat oleh ikatan yang sah, maka anak itu dinasabkan kepada mereka.

Syarat-syarat terjadinya Penyewaan Rahim

Dr. Yusuf Al-Qardhawi berpendapat bahwa syarat-syarat penyewaan rahim jika hukum ini sampai diberlakukan dan demi untuk mengurangi kemudaratan serta meringankan antara lain sebagai berikut :
1. Ibu tumpang itu mestilah wanita yang bersuami, bukan anak dara atau janda.
2. Wanita itu juga wajib mendapatkan keizinan suaminya, kerana kehamilan akan menghalangnya daripada menyempurnakan beberapa hak suaminya sepanjang tempoh kehamilan dan nifas seperti hubungan seks dan sebagainya.
3. Wajib bagi ibu tumpang beriddah dari suaminya, bimbang
4. masih terdapat benih yang disenyawakan pada rahimnya yang akan menyebabkan berlaku percampuran nasab
5. Nafkah ibu tumpang, kos rawatan dan penjagaannya
6. sepanjang tempoh kehamilan dan nifas adalah
7. tanggungjawab suami pemilik benih, atau wali selepasnya, kerana janin tersebut membesar daripada darahnya. Justeru, wajib bagi bapa tersebut membayar kadar kehilangan darah itu.
8. Thabit kesemua hukum penyusuan pada ibu tumpang dengan menggunakan ‘qias aula’ kerana ibu tumpang lebih berat tanggungannya daripada ibu susuan, kecuali suami ibu tumpang tersebut tidak dikira sebagai bapa susuan kepada bayi itu. Ini kerana bapa susuan dikira sebagai bapa bagi anak susuannya kerana susu itu terhasil apabila ibu susuan itu melahirkan anak hasil hubungan mereka suami isteri, berbeza dengan suami ibu tumpang yang tidak memiliki apa-apa hubungan dengan bayi yang dilahirkan.
9. Ibu tumpang berhak untuk menyusukan bayi itu jika beliau ingin berbuat demikian kerana membiarkan susu pada badannya akan memudaratkan fizikal, sebagaimana perasaannya juga terkesan apabila anak itu diambil daripadanya kerana Allah menjadikan penyusuan itu berkaitan dengan proses kelahiran
10. Akhirnya, Dr. Yusuf Al-Qaradhawi menyatakan pendapatnya bahawa wajar bagi ibu tumpang ini mendapat keistimewaan yang lebih berbanding ibu susuan, seumpama nafkah daripada anak ini kepada ibu yang melahirkannya sekiranya beliau berkemampuan dan ibunya berhajat kepada nafkah kelak.
Posisi Sewa Rahim atau Ibu Pengganti di Indonesia.

Walaupun teknologi kedokteran di bidang infertilisasi semakin canggih, akan tetapi untuk dapat diwujudkan di Indonesia masih sangat beresiko, baik dari aspek perundang-undangannya, aspek sosial budayanya, kultur agamanya, maupun kesiapan mentalnya. Dalam Peraturan Mentri Kesehatan No. 73 tahun 1999 pasal 10 butir 1 dan 2, memang teknologi reproduksi mempunyai peluang untuk terlaksananya praktek sewa rahim walaupun hanya ditujukan kepada pasangan suami istri yang sah dan sebagai upaya akhir untuk memperoleh keturunan serya berdasarkan pada suatu indikasi medik, namun Penulis berpendapat bahwa Indonesia tidak cukup siap untuk menerapkan teknologi kedokteran tersebut. Hal ini bukan saja kultur budaya bangsa Indonesia yang masih menganggap “tabu” akan tetapi terutama disokong oleh perangkat aturan yang tidak siap, jauh dari tertib. Menerima praktek sewa rahim ini berarti merubah sederet pasal-pasal yang terdapat dalam perundang-undangan yang berlaku. Untuk membenahi hak-hak anak di luar nikah pun selama 35 tahun tidak ada satu pun draf yang berhasil digolkan sebagai undang-undang, padahal masalah tersebut merupakan amanat dari undang-undang, lihat pasal 43 butir 2 UU Perkawinan No. 1 tahun 1974, apalagi ditambah dengan masalah baru yang melibatkan diskursus panjang tentang nasab, waris, pelanggaran hak asasi manusia, dll. Setidaknya ada beberapa pasal yang dapat dijadikan rujukan sebagai dasar penolakan adanya sewa rahim tersebut antara lain adalah :

1. UU RI No. 36 tahun 2009 tentang kesehatan 127 ayat (1).
2. Permenkes RI No.73/Menkes/PER/II/1999, pasal 4 dan 10.
3. SK Dirjen Yan Medik Depkes RI tahun 2000 tentang Pedoman Pelayanan Bayi Tabung di RS.
4. Kesusilaan dan Ketertiban Umum.
5. Pasal 1339 KUH Perdata.
MUI memberikan fatwa dalam masalah bayi tabung atau sewa rahim ini (hasil komisi fatwa tanggal 13 Juni 1979), yang menyatakan bahwa Dewan Pimpinan Majelis Ulama Indonesia memfatwakan sebagai berikut :
a. Bayi tabung dengan sperma dan ovum dari pasangan suami isteri yang sah hukumnya mubah (boleh, berdasarkan kaidah agama).
b. Bayi tabung dari pasangan suami-isteri dengan titipan rahim isteri yang lain (misalnya dari isteri kedua dititipkan pada isteri pertama) hukumnya haram berdasarkan kaidah Sadd az-zari’ah, sebab hal ini akan menimbulkan masalah yang rumit dalam kaitannya dengan masalah warisan (khususnya antara anak yang dilahirkan dengan ibu yang mempunyai ovum dan ibu yang mengandung kemudian melahirkannya, dan sebaliknya).
c. Bayi tabung dari sperma yang dibekukan dari suami yang telah meninggal dunia hukumnya haram berdasarkan kaidah Sadd a z-zari’ah, sebab hal ini akan menimbulkan masalah yang pelik, baik dalam kaitannya dengan penentuan nasab maupun dalam kaitannya dengan hal kewarisan.
d. Bayi tabung yang sperma dan ovumnya diambil dari selain pasangan suami isteri yang sah hukumnya haram, karena itu statusnya sama dengan hubungan kelamin antar lawan jenis di luar pernikahan yang sah (zina), dan berdasarkan kaidah Sadd az-zari’ah, yaitu untuk menghindarkan terjadinya perbuatan zina sesungguhnya.

The Internasional Islamic Center for Population Studies and research, Cairo-Mesir, November 2000 :
a. In Vitro Fertilization diperbolehkan kecuali menggunakan sperma, ovum atau embrio dari donor.
b. Pre-Implantation Genetic Diagnosis (PGD) diperbolehkan untuk alasan medik, untuk menghindari penyakit keturunan.
c. Penelitian-penelitian untuk pematangan folikel, pematangan oosit invirto diperbolehkan.
d. Implantasi embrio pada suami yang sudah meninggal belum mempunyai keputusan tetap.
e. IVF pada wanita menapause dilarang karena mempunyai risiko yang tinggi terhadap kesehatan ibu dan bayinya.
f. Tansplantasi uterus masih dalam pertimbangan; diperbolehkan untuk mengadakan penelitian pada binatang.
g. Penggunaan sel tunas (stem cell) untuk tujuan pengobatan (Therapeutic cloning) masih dalam perdebatan, diminta untuk dapat disetujui.
h. Reproduktive cloning atau duplikasi manusia tidak diperbolehkan.
Fatwa yang dikeluarkan oleh Majelis Mujamma’ Fiqih Islamic: Lima perkara berikut ini diharamkan dan terlarang sama sekali karena dapat mengakibatkan percampuran nasab dan hilangnya hak orang tua serta perkara-perkara lain yang dikecam oleh syariat:
a. Sperma yang diambil dari pihak lelaki disemaikan kepada indung telur pihak wanita yang bukan istrinya kemudian dicangkokkan ke dalam rahim istrinya.
b. Indung telur yang diambil dari pihak wanita disemaikan kepada sperma yang diambil dari pihak lelaki yang bukan suaminya kemudian dicangkokkan ke dalam rahim si wanita.
c. Sperma dan indung telur yang disemaikan tersebut diambil dari sperma suami istri, kemudian dicangkokkan ke dalam rahim wanita lain yang bersedia mengandung persemaian benih mereka tersebut.
d. Sperma dan indung telur yang disemaikan berasal dari lelaki dan wanita lain kemudian dicangkokkan ke dalam rahim si istri.
e. Sperma dari indung telur yang disemaikan tersebut diambil dari seorang suami dan istrinya, kemudian dicangkokkan ke dalam rahim istrinya yang lain.
Suami dan istri atau salah satu dari keduanya dianjurkan untuk memanfaatkan kemajuan ilmu pengetahuan, demi membantu mereka dalam mewujudkan kelahiran anak. Namun, disyaratkan spermanya harus milik sang suami dan sel telur milik sang istri, tidak ada pihak ketiga diantara mereka. Misalnya, dalam masalah sewa rahim. Jika sperma berasal dari laki-laki lain baik diketahui maupun tidak, maka ini diharamkan. Begitu pula jika sel telur berasal dari wanita lain, atau sel telur milik sang istri, tapi rahimnya milik wanita lain, ini pun tidak diperbolehkan. Ketidakbolehan ini dikarenakan cara ini akan menimbulkan sebuah pertanyaan yang membingungkan, “Siapakah sang ibu bayi dari bayi tersebut, apakah si pemilik sel telur yang membawa karakteristik keturunan, ataukah yang mederita dan menanggung rasa sakit karena hamil dan melahirkan?” Padahal, ia hamil dan melahirkan bukan atas kemauannya sendiri. Selain ibu tumpang anak persenyawaan in vitro juga kemungkinan membawa penyakit penyakit pada ibu tumpang. Sama sepeti patogen yang memasuki badan embrio berkemungkinan tidak dipastikan benar bebas dari kuman dan virus yang mana akan mengubah serba sedikit genetik bayi. Disamping sebab kesehatan emosi ibu tumpang juga harus diketahui apakah ia benar ikhlas atau pun terpaksa menjadi ibu tumpang. Emosi yang tidak stabil akan menggangu emosi anak yang dikandung, selain itu, ibu tumpang juga harus diberikan rawatan sepenuhnya sebelum mengandung dan selepas mengandung. Ibu tumpang yang sakit melahirkan anak, kemungkinan akan menyebabkan emosinya terus terganggu, dengan beban pikiran bahwa anaknya itu akan diberikan pada orang, setiap ibu mempunyai perasaan yang tersendiri dan tidak pernah ada ibu yang tidak menyayangi anaknya.

Para ahli fiqh sendiri berbeda pendapat jika hal ini benar-benar terjadi. Di antara mereka ada yang berpendapat bahwa ibu sang bayi tersebut adalah si pemilik sel telur, dan para ahli fiqih lebih condong kepada pendapat ini. Ada juga yang berpendapat bahwa ibunya adalah wanita “pemilik ilmu pengetahuan dan teknologi”. Bayi tabung dengan sperma dan ovum yang diambil dari pasangan suami istri yang sah dibenarkan oleh Islam, selama mereka berdua dalam ikatan perkawinan yang sah. Tetapi kalau bayi tabung tersebut dari hasil bantuan donor sperma atau ovum dari orang lain yang tidak ada hubungan perkawinan yang sah atau dari pembuahan percampuran ovum dan sperma suami istri yang sah, kemudian dimasukkan ke dalam rahim orang lain (sewa rahim), maka hukumnya haram sama dengan zina dan kedudukan bayi tersebut sama dengan anak zina. Demikian pula jika sperma suami dan ovum dari salah seorang istri yang dimasukkan ke dalam rahim istrinya yang lain, maka hukumnya tetap haram, karena terkait dengan masalah warisan dan nasab dari sebelah ibu, yang mana ibunya, istri yang pertama atau yang kedua dan seterusnya. Perbuatan tersebut tergolong zina dan menyulitkan hukum Islam dalam masalah :
1. Mengacaukan hukum Islam untuk menentukan wali anak perempuan dari hasil inseminasi dan bayi tabung bila ia dikawinkan.
2. Menyulitkan hukum Islam untuk menentukan hak-hak anak tersebut dalam urusan perwarisan dsb.
3. Nabi Salallahu alaihi wassallam mengharamkan penempatan nutfah pada rahim perempuan yang bukan istrinya.

Kedudukan ibu senantiasa dikaitkan dengan tugasnya sebagai seorang yang mengandung dan melahirkan, seperti yang ditegaskan Al-Qur’an di dalam beberapa ayat, misalnya surat Al-Mujadallah ayat 2, “ibu-ibu mereka tidak lain adalah perempuan yang melahirkan mereka”, surat Al-Anfal [8]: 15 “ibunya mengandung dengan susah payah dan melahirkan dengan susah payah juga” dan surat Al-Baqoroh [2]: 233, Ia tudharra walidatun bi waladiha (janganlah seorang ibu menderita karena anaknya).

PENGERTIAN PENYEWAAN RAHIM
Penyewaan rahim dalam bahasa Arab dikenali dengan berbagai nama, diantaranya الام المستأجرة, الام البديلة, الام الكذيبة, الرم المستعار, تأجير الارحام tetapi lebih dikenali sebagai الرحم المستأجر dan الام البديلةmanakala dalam bahasa Inggeris pula dikenali sebagai ‘surrogate mother’.
Menggunakan rahim wanita lain untuk mengandungkan benih wanita (ovum) yang telah disenyawakan dengan benih lelaki (sperma) (yang kebiasaannya suami isteri), dan janin itu dikandung oleh wanita tersebut sehingga dilahirkan. Kemudian anak itu diberikan semula kepada pasangan suami isteri itu untuk memeliharanya dan anak tersebut dikira anak mereka dari sudut undang-undang. Kaedah ini dikenali dengan sewa rahim karena lazimnya pasangan suami isteri yang ingin memiliki anak ini akan membayar sejumlah wang kepada ibu tumpang atau syarikat yang menguruskan kerja mencari ibu tumpang (si penyewa rahim) yang sanggup mengandungkan anak percantuman benih mereka dan dengan syarat ibu tumpang tersebut akan menyerahkan anak tersebut setelah dilahirkan atau pada masa yang dijanjikan.

SEBAB ATAU TUJUAN PENYEWAAN RAHIM
Terdapat beberapa sebab yang akan menyebabkan sewa rahim dilakukan, antaranya:
1) Seseorang wanita tidak mempunyai harapan untuk mengandung secara biasa kerana ditimpa penyakit atau kecacatan yang menghalangnya dari mengandung dan melahirkan anak.
2) Rahim wanita tersebut dibuang kerana pembedahan Wanita tersebut ingin memiliki anak tetapi tidak mau memikul bebanan kehamilan, melahirkan dan menyusukan anak dan ingin menjaga kecantikan tubuh badannya dengan mengelakkan dari terkesan akibat kehamilan.
3) Wanita yang ingin memiliki anak tetapi telah putus haid (menopause) Wanita yang ingin mencari pendapatan dengan menyewakan rahimnya kepada orang lain.

C. BENTUK-BENTUK PENYEWAAN RAHIM
Bentuk pertama:
Benih isteri (ovum) disenyawakan dengan benih suami(sperma), kemudian dimasukkan ke dalam rahim wanita lain. Kaedah ini digunakan dalam keadaan isteri memiliki benih yang baik , tetapi tetapi rahimnya dibuang kerana pembedahan , kecacatan yang teruk, akibat penyakit yang kronik atau sebab-sebab yang lain.
Bentuk kedua:
Sama dengan bentuk yang pertama, kecuali benih yang telah disenyawakan dibekukandan dimasukkan ke dalam rahim ibu tumpang selepas kematian pasangan suami isteri itu.
Bentuk ketiga:
Ovum isteri disenyawakan dengan sperma lelaki lain (bukan suaminya) dan dimasukkan ke dalam rahim wanita lain.Keadaan ini apabila suami mandul dan isteri ada halangan atau kecacatan pada rahimnya tetapi benih isteri dalam keadaan baik.
Bentuk keempat:
Sperma suami disenyawakan dengan ovum wanita lain, kemudian dimasukkan ke dalam rahim wanita lain. Keadaan ini berlaku apabila isteri ditimpa penyakit pada ovari dan rahimnyatidak mampu memikul tugas kehamilan, atau isteri telah mencapai
tahap putus haid (menopause).
Bentuk Kelima :
Sperma suami dan ovum isteri disenyawakan , kemudian dimasukkan ke dalam rahim isteri yang lain dari suami yang sama. Dalam keadaan ini isteri yang lain sanggup mengandungkan anak suaminya dari isteri yang tidak boleh hamil.

D. HUKUM PENYEWAAN RAHIM MENURUT ISLAM
Dalam Islam,hukum penyewaan rahim adalah HARAM, hal ini berlandaskan berdasarkan dalil-dalil dibawah ini:
a) Tidak adanya hubungan perkawinan antara pemilik sperma dengan pemilik rahim
Hal yang selalu diulangi di dalam Islam adalah adanya anak selalu dilandasi melalui proses perkawinan yang sah antara suami isteri yang tercakup di dalamnya rukun dan segala syarat.Maka di dalam proses sewa rahim tersebut jelaslah bahwa antara pemilik sperma dan pemilik rahim tidak memiliki hubungan perkawinan yang jelas. Dalil syariat telah menetapkan bahwa seorang anak hanya akan lahir dari perkawinan yang sah dan keturunan baik lelaki dan perempuan adalah merupakan rahmat dari sebuah perkawinan.(surat Ra’du 38 dan surat Nahlu 72)
b) Adanya ikatan syari’(nikah) antara hak melakukan pembuahan di dalam rahim seseorang dan hak melakukan jima'( menggauli) dengan pemilik rahim.
Di dalam fiqih Islam terdapat Qaidah, ” Siapa saja yang berhak melakukan jima’ dengan seorang perempuan maka perempuan berhak hamil dari hasil hubungan tersebut. Maka jelaslah bahwa barang siapa yang tidak berhak untuk melakukan hubungan intim dengan seorang perempuan maka perempuan tidak berhak menjadikan dirinya hamil. Dan hak menggauli hanya ada pada suami isteri.
Bagaimana jika perempuan tempat tumpangan pembuahan adalah isteri kedua dari seorang laki laki???? Jika suami memiliki dua orang isteri lalu dia menggauli isteri pertama kemudian hasil pencampuran ovum dan sperma dengan isteri pertama diletakkan pada isteri kedua maka dalam keadaan ini hal tersebut tetap dilarang dan dihukum haram karena akan menimbulkan pertentangan antara isteri pertama dan kedua sedangkan pertentangan itu dilarang di dalam Islam ( Surat Al-Anfal ayat 46) Jika kedua isteri telah bersepakat? Bangaimana jawabannya…Kesepakatan ini nantinya akan membawa penyesalan di dalm diri kedua isteri tersebut dan ini juga memisahkan antara anak dan isteri padahal hal itu sangatlah terlarang.
c) Tidak sah rahim itu menjadi barang jual beli.
Di dalam Islam terdapat hal hal yang dibenarkan oleh syariat untuk dijadikan barang jual beli, namun ada juga yang tidak boleh diperjual belikan diantaranya adalah isteri. Seorang isteri tidak boleh diperjual belikan dan termasuk di dalamnya rahim isteri. Karena kita hanya dapat memamfaatkan isteri itu bagi diri kita saja dan tidak boleh menjadikan manfaat yang dibawa isteri itu terhadap orang lain. Seperti menjual isteri atau menjual rahimnya saja.
Maka tidak bolehnya disewa rahim bagi yang bukan suami adalah agar nasab seseorang tetap terjaga karena memerhatikan nasab merupakan salah satu asas dari kehiupan bersyariat. Adanya proses sewa rahim yang demikian itu menunjuki kepada makna zina, bukan zina hakikat tetapi zina secara maknawi dan pelaku zina dalam model sewa rahim ini tidak diberlakukan hukuman had karena zina hakikat itu hanya dianggap zina jika bertemu dua kelamin yang berbeda.

d) Syariat Islam mengharamkan segala hal yang membawa kepada persilisihan diantara manusia
Islam selalu melarang adanya perselisihan diantara manusia, maka sewa rahim itu akan membawa manusia berselisih dan tidak jelas nasabnya seperti perselisihan antara dua orang perempuan yang mana yang menjadi ibu si anak dan juga pertentangan di dalm warisan.
e) Syariat melarang percampuran nasab.
Dengan sebab penyewaan rahim itu maka nasab anak akan tercampur dan susah untuk menelitinya apalagi jika sekiranya perempuan yang disewa rahimnya memiliki suami maka akan terjadi perselisihan anak dari hasil sewa rahim yang terlahir atau anak dari suami sebenarnya.
Seperti dikisahkan cerita menarik yang terjadi di Jerman , seorang perempuan yang tidak bisa hamil bersepakat dengan perempuan lainnya untuk melakukan kehamilan terhadap hasil hubungannnya dengan suaminya, kemudian perempuan yang disewa rahim tadi hamil dan melahirkan dengan membayar 27 mark jerman. Kemudian setelah lama maka diteliti rupanya anak yang lahir adalah anak dari hasil hubungan perempuan yang disewa rahimnya dengan suaminya, bukan anak dari suami isteri yang membayar tadi.
f) Penyewaan rahim akan mengakibatkan terlantarnya anak dan menyebabkan orang tua melepaskan tanggung jawab.
Dengan adanya proses penyewaan rahim maka antara orang tua saling melepaskan tanggung jawab dan akan menjadikan anak tersebut kehilangan pelindung dan pendidik. Maka hal ini sangat dilarang oleh agama juga undang undang negara melarang seorang orang tua melepaskan tanggung jawabnya karena anak adalah amanah dan akan diminta pertanggung jawaban oleh Allah Swt. Lalu kepada siapa sang anak di beri nasab??? Jika perempuan yang disewa rahimnya tidak memilki suami maka anak tadi dinasab langsung kepada suami dari perempuan pemilik ovum. Namun jika perempuan yang disewa rahimnya memilki suami maka kembali harus diteliti melalui test DNA lelaki mana yang berhak menjadi ayahnya, apakah pemilik sperma dari suami perempuan pertama atau lelaki isteri perempuan yang disewa rahimnya.
E. PANDANGAN ULAMA’ MENGENAI PENYEWAAN RAHIM
Para Ulama’ bersepakat tentang pengharaman sewa rahim dalam keadaan berikut:
1) Menggunakan rahim wanita lain selain isteri
2) Percampuran benih antara suami dan wanita lain
3) Percampuran benih isteri dengan lelaki lain,
4) Memasukkan benih yang disenyawakan selepas kematian suami isteri,
Adapun bentuk Bentuk penyewaan rahim yang tidak disepakati pengharamannya oleh para ulama’ ialah sperma suami dan ovum isteri yang disenyawakan , kemudian dimasukkan ke dalam rahim isteri yang lain bagi suami yang sama. Keadaan ini berlaku apabila berlaku hajat seperti rahim isteri tidak dapat berfungsi atau dibuang akibat pembedahan, tetapi ovumnya baik. Para ulama’ berselisih pendapat tentang perkara ini dan terbagi kepada 2 golongan:
Ø Golongan pertama : Golongan yang mengharamkan
Golongan ini berpendapat bahwa penyewaan rahim bentuk ini adalah haram sepertimana bentuk yang lain. Mereka berhujah dengan mengatakan bahawa ia akan membawa banyak masalah dan ada kemungkinan isteri (ibu tumpang) tersebut hamil dalam keadaan suaminya telah ‘bersama’ dengannya. Keadaan ini akan menyebabkan kekeliruan tentang siapa ibu sebenar anak tersebut.
Ø Golongan kedua : Golongan yang mengharuskan
Mereka berpendapat penyewaan rahim bagi bentuk ini adalah harus kerana kedua-dua wanita tersebut adalah isteri bagi suami yang sama dan isteri yang lain secara sukarela mengandungkan anak bagi madunya. Dalam keadaan ini , bapak anak tersebut telah pasti dan ikatan kekeluargaan wujud dalam lingkungan yang baik, begitu juga tidak wujud pencampuran nasab dari sudut suami dan isteri jika sikap berhati-hati diambil kira bagi memenuhi syarat-syarat yang menjamin tidak berlaku percampuran nasab. Oleh sebab itu, Al- Mujamma’ Al-Fiqhi li Rabitoh Al-‘Alam al-Islami secara majority mengharuskan penyewaan rahim bentuk ini dalam daurah ketujuhnya, dengan syarat pengawasan yang betul betul sempurna agar tidak berlaku percampuran benih, kerana kesilapan dalam percampuran benih dengan yang lain akan member kesan kepada generasi demi generasi. Mereka juga mensyaratkan untuk tidak menggunakan kaedah ini melainkan ketika adanya hajat.
Berikut juga dicantumkan beberapa fatwa atau aturan yang terkait dengan hukum penyewaan rahim:
1. Indonesia melarang penyewaan rahim, hal ini termuat dalam UU Nomor 23 Tahun 1992 tentang kesehatan dan Peraturan Menteri Kesehatan nomor 73 tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Pelayanan Teknologi Reproduksi Buatan.
2. Pakar hukum Universitas Indonesia (UI) Rudi Satrio mengatakan anak hasil bayi tabung merupakan anak sah. Namun jika embrio diimplantasikan ke dalam rahim wanita lain yang bersuami, maka secara yuridis status anak itu adalah anak sah dari pasangan penghamil, bukan pasangan yang mempunyai benih. Dasar hukum ps. 42 UU No. 1/1974 dan pasal 250 KUH Perdata.
3. Frans Hendra Winata, anggota Komisi Hukum Nasional dan Dosen Universitas Pelita Harapan mengatakan penyewaan rahim melanggar hukum perkawinan dan dapat dikategorikan hukum pidana dengan pasal perselingkuhan
4. MUI pada 13 Juni 1979 mengeluarkan fatwanya bahwa MUI tidakmelarang setiap orang mendapatkan keturunan dengan cara bayi tabung. Tapi,cara tersebut tidak dengan penyewaan rahim
5. Anggota Dewan Syariah Nasional (DSN) dan Komisi Fatwa MUI Setiawan Budi Utomo menyatakan, teknik inseminasi alias pembuahan buatandibenarkan menurut Islam akan tetapi jika ditanam dibenih wanita lain yang tidak ada hubungan perkawinan, maka hukumnya sama dengan zina.
6. Penyewaan rahim baik dengan suka rela atau dengan imbalan berupa materi dan dengan tujuan apapun di hukumi haram dalam islam menurutImam Al Barmawy dalam kitabnya yang berjudul Hasyiyah Al Barmawy ‘Ala Syarhi Ghoyati Libni Qosim Al Ghuzzy (selesai th. 1074 H.) dan pendapat Imam Romly (W. 1004 H.)
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Setelah kami gali, kaji, dan paparkan maka kami dapat memberikan kesimpulan bahwa :
1) Penyewaan rahim hukumnya haram, hal ini sesuai dengan kesepakatan para ulama’ yang bertumpu pada undang-undang syari’at Islam dan undang-undang Negara
2) Adapun Bentuk penyewaan rahim yang tidak disepakati pengharamannya oleh para ulama’ ialah sperma suami dan ovum isteri yang disenyawakan, kemudian dimasukkan ke dalam rahim isteri yang lain bagi suami yang sama, atas hal ini ada ulama’ yang mengharamkan dan ada juga yang mengharuskan.
B. SARAN
Pemerintah hendaknya tegas terhadap permasalahan ini, karena jika tidak, masalah penyewaan rahim wanita bisa merugikan kaum perempuan yang sampai saat ini masih dikesampingkan suaranya dan juga akan mengakibatkan penyelisihan diantara orang-orang yang berkaitan dalam masalah ini dikemudian hari (bertentangan dengan Maqasid As Syari’ah).
DAFTAR PUSTAKA

Arif, ali arif (Dr). Al Ummu Al Badilah (Ar Rahmu Al Musta’jarah) Ru’yah Islamiyah
Kumpulan Pensyarah Syariah Wal Qonun, Universitas Al Azhar Kaherah,Qadaya Fiqhiyyah Muasirah, Kaherah, Al Azhar, 2002
Al-Qaradhawi, Yusuf,Dr, Fatawa Al-Muasarah , Kaherah, Dar al-Qalam, Juz 1,1998
Muhammad Ali Al-Bar, Khalqul Insan Baina At-Tib Wa Al-Quran,Jeddah, Dar As-Sa’udiah, 1999
‘Ablah Muhammad Al-Kahlawi,Dr, Dirasat Fiqhiyyah Muasirah, Kaherah, Universiti Al-Azhar (far’ul banat),2001
Muhammad Bakar Ismail,Prof.Dr.,Al-Qawaid Al-Fiqhiyyah Baina Al-Asolah wa At-Taujih ,Kaherah, Dar Al-Manar,1997
Yusuf Hamid Al-Alim, Dr, Al-Maqasid al-‘Ammah li As-Syariah Al-Islamiyyah,Kaherah, Dar Al-Hadith,t.t.
Majalah Al-Azhar keluaran Jun 2001, Julai 2001, Mac 2003
http://www.BlogWasilAlKabumainy.com/2009/01/29/KontroversiPenyewaanRahim
http://www.Kompas.com/2010/10/26/PenyewahanRahimDalamIslam
http://www.BlogZahrulBadawi.com/2008/03/27/KajianKontemporerPenyewaanRahim
http://www.Yahoo.com/2009/02/27Email:obdj@tresnamuda.co.id/SewaRahim
In ummahatuhum Illa al-la’iy waladnahum, Hamalathu ummuhu kurhan wa wadha’athu kurhan

Prof. Dr. Din Syamsudin : “Maaf saya tidak bisa ta’at kepada pemerintah (Depag) yang korup”.

Pernyataan Prof. Dr. Din Syamsudin (Ketum PP Muhammadiyah) di Metro TV sesaat Kinkin GPI 2menjelang sidang isbath tanggal 19 Juli 2012, sangat bernuansa politis dan berpotensi memecah belah kesatuan dan persatuan bangsa. Jika perbedaan dalam penetapan awal bulan Ramadhan maupun Syawal nanti terus dihubung-hubungkan dengan politik maka saatnya generasi muda mengoreksi ulamanya. Terlepas dari keyakinan beliau dalam menetapkan awal bulan komariah dengan sistem hisab wujud al-hilal maupun milad al-hilal, bahwasanya perbedaan akan tetap ada, satu kritik yang harus disampaikan kepada para pihak baik para komentator maupun para ulama, terutama yang menggunakan media televisi sebagai bentuk menyampaikan aspirasinya maupun bermaksud mempengaruhi orang lain, untuk tidak memberikan pernyataan-pernyataan yang berpotensi memecah belah kesatuan dan persatuan bangsa.

Beberapa pernyataan Din Syamsudin yang saya anggap sebagai pernyataan yang berpotensi memecah belah kesatuan dan persatuan bangsa (intinya) adalah :
1. Tidak wajib ta’at kepada pemerintah yang bukan Islam, Indonesia berbeda dengan Mesir”.
2. “Maaf saya tidak bisa ta’at kepada pemerintahan (Depag) yang korup”.
Sungguh mengherankan pernyataan tersebut. Memang banyak perdebatan tentang keta’atan terhadap pemerintahan yang bukan Islam, baik yang wajib taat maupun yang menolaknya, tetapi kita tidak sedang bermimpi, kita sedang menghadapi realita bahwa Indonesia kenyataannya bukan negara Islam. Maka dalam hal ini Indonesia harus memiliki format fikih sendiri, sesuai dengan kontek Indonesia, bukan “mencontek” negara lain. Dunia berkembang, tak mungkin kita menutup mata terhadap perkembangan. Lihat negara-negara yang berpenduduk muslim lebih banyak, akan tetapi dipimpin oleh Presiden yang Non Muslim seperti Nigeria (75% muslim), Senegal (91% muslim), bahkan Libanon (75% muslim) dari sejak tahun 1943 sampai sekarang selalu dipimpin oleh Presiden Non Muslim karena adanya proses demokrasi. Oleh karenanya, dalam kondisi seperti itu tentu para ulamanya berijtihad penuh untuk mencari format fikih sendiri demi berjalannya pemerintahan yang adil dan diharapkan oleh masyarakat Islam, bukan menghujatnya apalagi mengingkari pememerintahannya. Mesir memang negara Islam, tetapi bukan berarti sama sekali tidak ada “penyelewengan”, Prof. Din apakah di Mesir tidak ada korupsi?

Dalam ajaran Islam memang tidak diwajibkan mentaati pemimpin yang menyuruh kepada kemaksiatan, bahkan seluruh manusia hendaknya menolak semua bentuk kemaksiatan karena itulah prinsip-prinsip ajaran agama secara universal. Idealnya menta’ati pemimpin yang ta’at kepada Allah dan Rasulnya, sebagaimana diperintahkan oleh Allah dalam surat al-Nisaa ayat 59 :”Wahai orang-orang beriman, ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul dan pemegang kekuasaan/pemerintah…”. Jika mengacu kepada pernyataan Prof. Din, maka ia tidak mau mengikuti ketetapan pemerintah dalam hal awal penentuan puasa karena ia beralasan bahwa Depag selama ini dinilai korup sehingga tak pantas untuk dita’ati. Akan tetapi masalahnya sekarang adalah :
1. Apakah penetapan awal Ramadhan termasuk kategori kemaksiatan sehingga harus ditolak juga, sebagaimana bentuk-bentuk penolakan terhadap korupsi ?
2. Apakah ada ketentuan baik dalam al-Qur’an maupun hadis bahwa syarat dita’atinya seorang pemimpin mutlak tidak boleh melakukan “penyelewengan” secara keseluruhan (holistik), sehingga jika pemimpin dalam institusinya pernah melakukan hal-hal di luar ketentuan Allah maka jika suatu saat ia memerintahkan kebaikan tetap harus ditolak?
3. Jika ini dibenarkan, contoh negara manakah di dunia ini yang tidak pernah melakukan kedzaliman/ penyelewengan sedikitpun?
Kaidah usul fikih menyatakan ”Maala yudroku kuluhu laa yutroku kuluhu” artinya apa-apa yang tidak bisa dilaksanakan seluruhnya, jangan ditinggalkan seluruhnya. Jadi menurut kaidah ini kita tidak boleh meninggalkan sebuah kewajiban menegakkan syariat Islam ketika kita tidak dapat melaksanakan seluruhnya, akan tetapi kita dituntut memperjuangkan semampunya. Demikian juga Firman Allah Swt: ”Bertawakalah kepada Allah sesuai dengan batas kesanggupanmu.” (Q.S At-Taghabun : 16). Hadis Nabi saw : ”Apabila aku memerintahkanmu sekalian dengan suatu perintah maka lakukanlah perintah itu semampu kalian.” (HR. Baihaqi dari Ibnu Abbas).
Maka dalam konteks ini kita tidak dapat menegakkan hukum Islam di Indonesia secara penuh oleh karena sistem yang berlaku, maupun sebab-sebab atau alasan-alasan lain, maka ketika tak dapat menegakkannya janganlah kita meninggalkan keputusan-keputusan yang mampu kita lakukan dan tidak bertentangan dengan hukum Islam secara keseluruhan. Contoh sederhana misalnya penerapan kepemimpinan di rumah tangga, suatu ketika seorang suami memerintahkan istrinya untuk menutup aurat, tetapi istri tersebut menolak dengan alasan bahwa suaminya adalah seorang koruptor, yang tidak pantas dita’ati dan termasuk kategori orang yang dzalim, sehingga apapun yang diperintahkannya harus ditolak sekalipun perintahnya bukan suatu kemaksiatan. Jika prinsip ini digunakan betapa berat menjalani hidup ini, berapa banyak rumah tangga yang hancur, berapa banyak istri yang akan berpredikat sebagai seorang pembangkang, karena tak ada satu pun suami yang tak pernah melakukan kesalahan dalam kehidupan berumah tangga, baik disengaja maupun tidak. Apalagi kepemimpinan dalam bernegara yang sangat kompleks.

Sekali lagi memang idealnya dan seharusnya seorang pemimpin adalah seorang yang ta’at terhadap perintah Allah dan Rasulnya, yang adil dan tidak mendzalimi rakyatnya. Kita pun tak mau dipimpin oleh seorang yang korup, yang dzalim terhadap rakyatnya apalagi yang tidak ta’at kepada Allah dan Rasul-Nya, namun jika tidak didapat di negeri ini (akibat kesalahan memilih seorang pemimpin atau wakil-wakil rakyat atau akibat sistem yang salah) bukan berarti harus berame-rame menjadi seorang pribadi yang pesimis, pribadi yang putus asa, dan selalu bersikap apriori, meninggalkan prinsip-prinsip ijtihad, apalagi pribadi yang suudzhon.

Barangkali banyak juga orang yang membenarkan apa yang dikatakan oleh Prof. Din yaitu tentang kekorupan Depag. Depag memang salah satu institusi negara terkorup ke 8 menurut hasil analisis audit BPK tahun 2008-2010, berikut ranking 10 besar kementerian dan lembaga negara berpotensi terkorup dan merugikan negara berdasarkan hasil analisis audit BPK tahun 2008-2010:
1. Kejaksaan Agung (Rp5,433 triliun)
2. Kemenkeu (Rp5,359 triliun)
3. Kemendikbud (Rp3,335 triliun)
4. Kemenkes (Rp332,8 miliar)
5. Kementerian ESDM (Rp319,1 miliar)
6. Kemenhut (Rp163,5 miliar)
7. Kemensos (Rp157,8 miliar)
8. Kementerian Agama (Rp119,3 miliar)
9. Kemenpora (Rp115,4 miliar)
10. Kemenkoinfo (Rp102,4 miliar)

Dari data tsb jika mau konsisten terhadap penolakan keputusan-keputusan pemerintah karena alasan korupsi maka seluruh produk dari 10 lembaga tsb di atas harus ditolak juga, bukan hanya produk Kementerian Departemen Agama saja. Perbankan misalnya, menurut UU RI No. 14 tahun 1967 tentang Pokok-Pokok Perbankan, baik milik negara maupun swasta, ia baru dapat berdiri dan menjalankan usaha sebagai Bank setelah mendapat izin usaha dari Menteri Keuangan. Jadi segala bentuk simpan pinjam, transfer, dll, atas seizinnya, maka konsekuensinya harus ditolak karena ia merupakan hasil produk Kemenkeu lembaga terkorup kedua menurut data tersebut. Alhasil logika yang dikemukakan Prof. Din selain bernuansa politis, juga sangat menyulitkan terutama dalam tatanan berbangsa dan bernegara serta berpotensi memecah belah umat.

Oleh karena itu dalam fase kedua nanti yaitu dalam menetapkan awal bulan syawal, kami tak mau disuguhi oleh intrik-intrik politik, kebencian pihak satu dengan yang lain, pernyataan-pernyataan yang tidak elok. Suguhi kami dengan pelajaran yang baik tentang informasi hisab maupun ru’yah walau mungkin di antara kami ada yang cenderung menggunakan metode hisab atau metode ru’yah, suguhi kami dengan pelajaran musyawarah bil ma’ruf, mengedepankan kepentingan umat bukan kepentingan golongan, organisasi maupun ego pribadi. Suatu saat kami berharap dapat melakukan puasa dan lebaran serentak bersama-sama umat muslim di Indonesia karena ijtihad dan kesadaran para ulama untuk mempersatukan bangsa ini dari perpecahan dan dari bercerai berai, karena ENGKAULAH, ULAMA YANG MEMPERSATUKAN KAMI.

Catatan : Tulisan ini merupakan bentuk keprihatin saya terhadap kondisi umat Islam yang selalu dibingungkan saat melaksanakan awal puasa dan awal syawal.